Lasem, kota tua berhawa panas di pesisir utara Jawa Tengah pada tahun
1961. Seorang hoakiao muda membuat udara Lasem tambah gerah setelah
mempersunting gadis Jawa, putri seorang panitera dan keponakan wedono
dari Tulungagung, Jawa Timur.
Hoakiao – istilah untuk Cina perantauan – itu bernama Njo Tjoen Hian,
putra perajin batik. Pernikahannya tersebut melawan arus masyarakat
waktu itu, yang masih menganggap miring pernikahan antar-etnis dan
antar-agama.
‘Pada waktu itu perkawinan Tionghoa dan Jawa biasanya delik-delik
(sembunyi-sembunyi). Sementara saya menikah resmi di catatan sipil,’
kata Njo Tjoen Hian, yang sejak tahun 1959 lebih sering menggunakan nama
Sigit Witjaksono ini.
Tentang namanya ini, Njo Tjoen Hian menjelaskan, ‘Sigit Witjaksono
itu merupakan versi bahasa Jawa dari Njo Tjoen Hian. Artinya sama,
yaitu kebaikan dan kebijaksanaan.’
Perjuangan Sigit mempersunting Marpat Rochani, putri priayi dari Jawa
Timur, itu memang tidak mudah. Tak ada satupun keluarga dari pihak
istrinya yang mau datang pada acara pernikahan mereka ketika itu. Sigit
sampai merasa dipermalukan. ‘Saya menangis wkatu itu,’ kata Sigit.
Akan tetapi, dia tidak pupus harapan. Ia selalu mencoba untuk terus
berbuat baik terhadap keluarga istrinya. ‘Lambat laun, mereka mulai
ikhlas dan bisa menerima, apalagi setelah mereka melihat rumah tangga
kami yang rukun. Wong belah gowo damar, Gusti Allah ora samar,’ kata Sigit mengutip pepatah Jawa, tentang Tuhan yang akan selalu menjaga.
Ketika keluarga dan warga sekitar mulai menerima perkawinan campur
itu, tantangan justru datang dari pemerintah. Akta kelahiran anaknya
diberi cap: akte kelahiran untuk warga keturunan Republik Rakyat
Tiongkok (RRT). ‘Saya RRT saja tidak tahu bentuknya. Tanah Jawan ini
tempat lahir dan mungkin tempat nanti saya mati juga. Kenapa
seolah-olah kami belum juga diterima ?’ kata Sigit. Dimata Njo Tjoen
Hian, pembauran antara Jawa-Cina sebenarnya bukan hal baru. ‘Saya
keturunan hoakio (Cina perantauan) kedelapan di Lasem,’ kata Sigit
menambahkan.
Rombongan awal para hoakiao ke Lasem itu semuanya laki-laki. Mereka
kemudian menikah dengan orang-orang dari pesisir Lasem hingga Tuban.
Setelah Belanda berkuasa di Jawa barulah didatangkan para pekerja dari
daratan Cina untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan. Sebagian di
antaranya perempuan. Mulailah ada perbedaan antara Tionghoa totok dan
Tionghoa peranakan. Antara mereka yang pribumi dan pendatang. ‘Belanda
juga yang menciptakan pemisahan itu’ kata Sigit. Pemisahan itu semakin
tajam setelah terjadi geger Cina – pemberontakan Cina terhadap Belanda –
pada tahun 1740. Waktu itu, Lasem menjadi salah satu pusat perlawanan
Cina terhadap Belanda. Penjajah Belanda sengaja menjauhkan orang Cina
dan Jawa agar mereka tidak kembali bersekutu lalu melawan Belanda.
Batik Laseman
Jejak pembauran etnis Jawa dan Cina di Lasem itu, menurut Sigit,
sangat jelas terlihat antara lain dalam selembar kain batik laseman.
‘Motif batik Lasem merupakan poduk silang budaya, terutama antara
Jawa dan Cina,’ kata Sigit yang mewarisi usaha batik dari ayahnya, Njo
Wat Jiang. Motif yang terpengaruh budaya Cina adalah burung hong, bunga
seruni, banji dan mata uang. Adapun motif Jawa terlihat dari motif
geometris khas batik vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta), seperti parang, kawung dan udan liris.
Selain kedua motif itu, para perajin baik di Lasem juga mencipta
motif lokal seperti latohan, gunung ringgit, dan kricak atau watu
pecah. Konon, motif kricak (batu kecil) diinspirasikan dari kenangan
atas kricak sebagai bahan pembuatan jalan Raya Pos era Daendels, yang
membawa banyak korban pekerja di Lasem. Ketiga motif itu sering dipadu,
seperti yang terlihat dalam motif batik tiga negeri.
Melalui budaya
Upaya Sigit untuk pembauran telah mendorongnya untuk membentuk
paguyuban seni tari Tunas Harapan pada tahun 1977. Dalam paguyuban ini,
Sigit membaurkan anak-anak Tionghos dengan etnis Jawa. Tarian yang
sering mereka tampilkan adalah Srikandi Mustaka Weni dan
Menakjingga-Dayun. Kelompok tari multietnis ini, pada waktu itu, laris
diundang ke kota-kota lain hingga Semarang dan Magelang. Bahkan, pada
tahun 1979, Tunas Harapan diundang tampil di Balai Sidang Jakarta, di
hadapan Presiden Soeharto.
Sigit juga menjadi Ketua Yayasan Sekolah Dasar (SD) Wijayakusuma,
yang mengelola SD di Lasem sejak tahun 1979 hingga 2002. Sebelum Sigit
menjadi ketua yayasan, SD ini dicap eksklusif oleh masyarakat setempat
karena 90 persen siswanya Tionghoa. Dia bertekad menghapus cap itu.
‘Saya datang dari rumah ke rumah, menemui keluarga Jawa agar mereka mau
menyekolahkan anak mereka ke sekolah kami,’ tutur Sigit.
Selain menawarkan pendidikan kesenian tari, Sigit juga menyediakan
pelajaran berbagai agama di sekolahnya itu. ‘Siswa bebas memilih
pelajaran sesuai agama masing-masing. Hasilnya, 60 persen siswa SD
Wijayakusuma sekarang etnis Jawa, ‘ kata Sigit yang ikut bermain dalam
film Cau Bau Kan pada tahun 2002 ini.
Pewaris
Bulan Agustus 2008, lelaki itu duduk di beranda rumah. Dia
mengenakan batik warna merah dan celana panjang katun hitam. Tubuhnya
masih sehat dan gagah. Dari tempatnya duduk, dia bisa melihat seorang
perempuan tua yang tengah membatik.
‘Pembatik di sini rata-rata sudah bekerja sejak saya masih kecil.
Tetapi, belum ada anak-anak yang mau meneruskan usaha ini. Semuanya
bisa dibilang memilih bekerja di luar kota. Lasem lalu menjadi kota
mati,’ kata Sigit. Ada nada getir dari suaranya. Oleh karena itu, bagi
Sigit, batik Lasem bukan sekadar urusan bisnis.
‘Batik Lasem adalah saksi sejarah, tentang pembauran budaya, yang tidak boleh hilang, ‘tuturnya.
[Post note: another story about Lasem and
its family history as represented by my uncle, Njo Tjoen Hian, fifth
child in the family from my father’s side. Njo Wat Jiang is the name of
my grand father. He was born and died in Lasem. In the original
transcript, the term of ethnic Chinese as 'China', I do not believe this
is the correct term in Bahasa Indonesia. It should be Cina, therefore I
take the liberty to change.]
Printed in Kompas Cetak, 09 September 2008