Cheng Ho: Antara Sejarah dan Legenda
1. Masjid Demak
Masjid Demak merupakan salah satu Masjid yang terpentng dan tertua di Jawa (1479). Masjid ini telah mengalami renovasi berulang-ulang sehingga menjadi wujudnya seperti yang sekarang ini. Masjid Demak didirikan pada masa kerajaan Demak yang diperintah oleh Raden Patah pada abad ke 15. Hampir semua sumber historiografi lokal menyebutkan bahwa Raden Patah atau Jim bun adalah seorang Cina Muslim.
Hal lain misalnya tepatnya di “mihrab”, pada temboknya terdapat gambar kura-kura. Menurut tradisi Cina jaman itu, lambang kura-kura merupakan simbol kemenangan dinasti Ming (1368-1644), saat berhasil mendirikan dinastinya. Gambar kura-kura pada mihrab Masjid Demak menunjuk pada candra sengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” (Sirna = 0, Ilang = 0, Kerta = 4, Bumi = 1). Kepala kura-kura melambangkan angka 1. Empat kaki kura-kura melambangkan angka 4. Tubuh kura-kura melambangkan angka 0. dan ekor kura-kura melambangkan angka 0. Jadi artinya tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Mihrab masjid dapat pula ditafsir sebagai candra sengkala “Sariro (1) Sunyi (0) Kiblating (4) Gusti (1)” yang menunjuk pada tahun saka 1401 atau 1479 Masehi. Sebagaimana diketahui bahwa mihrab adalah bangunan pertama dan utama masjid, sehingga dapat disimpulkan bahwa Masjid Demak dibangun pada sekitar tahun saka 1400 – 1401 atau 1478 – 1479 Ms. Dalam tradisi Jawa, candrasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” merupakan perlambang penanda waktu runtuhnya Kerajaan Majapahit sekaligus bangkitnya Islam Demak. Sedangkan gambar kura-kura merupakan simbol yang digunakan oleh Dinasti Ming Tiongkok pada akhir abad 13 sebagai lambang kemenangan.
Proses
sejarah perkembangan Islam di Jawa seringkali dikaitkan dengan sosok
laksamana besar dari Dinasti Ming yaitu Cheng Ho. Selain seorang pelaut
dan negosiator ulung, Cheng Ho juga seorang muslim yang saleh dan giat
melakukan syiar. Amen Budiman dalam bukunya “Masyarakat Islam Tionghoa
di Indonesia” menuliskan bahwa pada awal abad 15, armada Cheng Ho
pernah singgah di Semarang, tepatnya di sebuah tempat yang kemudian
dikenal dengan sebutan Gedong Batu. Di sana Cheng Ho bersama pembantu
utamanya, Wangji Hong, mengajar agama Islam kepada masyarakat sekitar
dan mendirikan sebuah masjid dengan gaya arsitektur mirip klenteng
tionghoa.
Namun
teori sejarah bahwa Cheng Ho pernah singgah di Semarang tampaknya
sangat lemah. karena dalam buku “Riwayat Semarang” karya Liem Thian Joe
tahun 1931, tidak pernah dinyatakan Cheng Ho pernah singgah di
Semarang. Armada yang singgah di Semarang bukan dipimpin oleh Cheng Ho
tetapi oleh Sam Poo Kong. Oleh sebab itu di Semarang ada Kelenteng dan
Masjid Sam Poo Kong. Tampaknya kemudian tradisi yang berkembang di
masyarakat mencampuradukkan sosok Sam Poo Kong dengan Cheng Ho, padahal
sebenarnya dua nama ini memang adalah tokoh yang berbeda.
Dalam
Harian KOMPAS edisi 7 Apil 2008 “Antara Fakta Sejarah dan Legenda Sang
Laksamana”, dinyatakan bahwa tidak ada bukti kuat bahwa Cheng Ho
pernah singgah di Semarang pada tahun 1405, karena Semarang pada awal
abad ke-15 adalah daerah tak bertuan, karena Kerajaan Demak belum
tampil dan Majapahit masih menjadi bermahadiraja. Sebaliknya dalam
tradisi Jawa, dikenal tokoh Dampo Awang selalu muncul di sejumlah
tempat di pesisir utara pulau Jawa. Di Jepara, Rembang, dan Tuban
dipercayai terdapat jangkar milik Dampo Awang. Selain itu satu-satunya
kota di Jawa yang disebut dalam sumber China dan catatan Melayu adalah
Jepara, sebuah kota kabupaten di pesisir utara Jawa Tengah, sekitar 78
km dari Semarang. Pada masa itu (abad ke-15) Jepara telah menjadi
pelabuhan internasional karena di sebelah utara Jepara terdapat pula
situs peninggalan ekpedisi Alfonso Darlbuquerque berkebangsaan
Portugis, diperkirakan pada abad ke-15.
Hipotesa
yang dapat dibuat adalah bahwa kedatangan armada China di Jawa sangat
erat kaitannya dengan penyebaran Islam awal di Jawa. Namun kedatangan
armada China ini tidak terjadi dalam satu waktu, tetapi terjadi beberapa
kali dan pada titik-titk pelabuhan yang berbeda. Dalam pesinggahan
armada China di Jawa tersebut sangat mungkin didahului dengan
persinggahan di pelabuhan-pelabuhan sebelumnya, termasuk Kerajaan Champa
yang mayoritas menganut agama Islam aliran Hanafi. Oleh karena itu
distribusi ulama-ulama Champa sangat mungkin terjadi dalam proses
tersebut.
Sejarah Wali Songo
Muldjana
memaparkan dalam bukunya “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara” bahwa Residen Poortman tahun 1928
ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu
orang Cina. Raden Patah bergelar Penembahan Jimbun dalam Serat Kanda,
dan Senapati Jimbun dalam Babad Tanah Jawi. Kata jim bun dalam salah
satu dialek Cina berarti “orang kuat”. Maka sang Residen itu menggeledah
Kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan mengangkut naskah berbahasa
Tionghoa yang ada di sana, sebagian sudah berusia 400 tahun-sebanyak
tiga pedati. Arsip Poortman ini dikutip Parlindungan dalam bukunya
“Tuanku Rao”.
Bila
mengacu pada teori Prof Muldjana, ada dugaan kuat bahwa penyebaran
awal Islam dilakukan oleh para ulama dari China, khususnya Champa, yang
selanjutnya dikenal dengan sebutan “Wali Songo”. Perdagangan dan
hubungan diplomatik Majapahit dengan China (Tiongkok) sudah dibangun
kembali pada masa Ratu Suhita pada awal abad 15 Masehi. Pelabuhan Tuban
menjadi sentra ekspor impor yang digawangi oleh utusan negeri Champa,
yaitu Gan Eng Cu. Selain piawai dalam perdagangan, Gan Eng Cu juga
seorang Islam Hanafi yang bersemangat menyebarkan syiar damai dan sangat
menghormati kekuasaan Majapahit. Berdasarkan kronik Tionghoa di
Klenteng Sam Poo Kong, berkat jasa Gan Eng Cu dalam bidang ekonomi, Ratu
Suhita memberikan gelar Arya. Muldjana menduga bahwa Gan Eng Cu ini
adalah Tumenggung Arya Wilwatikta, adipati Tuban, yang tidak lain adalah
ayah dari Raden Said atau yang nama aslinya adalah Gan Si Ciang.
Beliau nantinya bergelar Sunan Kalijaga, salah satu wali (ulama) yang
sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa.
Muldjana
banyak menyitir buku karangan Parlindungan dan menyimpulkan, Bong Swi
Hoo-yang datang di Jawa tahun 1445 Ms tidak lain adalah Sunan Ampel.
Bong Swi Hoo ini menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan
Eng Cu (mantan kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak
tahun 1423). Dari perkawinan ini lahir Bonang yang kemudian dikenal
sebagai Sunan Bonang. Bonang diasuh Sunan Ampel
bersama dengan Giri yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri. Putra Gan
Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang menjadi kapitan Cina di
Semarang. Tahun 1481 Gan Si Cang memimpin pembangunan Masjid Demak
dengan tukang-tukang kayu dari galangan kapal Semarang. Tiang penyangga
masjid itu dibangun dengan model konstruksi tiang kapal yang terdiri
dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi. Tiang itu dianggap
lebih kuat menahan angin badai daripada tiang yang terbuat dari kayu
yang utuh.
Akhirnya
Muldjana menyimpulkan, Sunan Kali Jaga yang masa mudanya bernama Raden
Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah menurut Muldjana adalah Toh A bo, putra Sultan
Trenggana (memerintah di Demak tahun 1521-1546). Sementara itu Sunan
Kudus atau Jafar Sidik yang tak lain dari Ja Tik Su.
Namun
teori Muldjana perihal Sunan Kalijaga disangkal oleh budayawan muda
Damar Shashangka, dengan menyatakan bahwa Prof. Muldjana mencoba
merangkai data dari kronik Tionghoa, serat kanda, dan Babad Tanah Jawi,
tapi melupakan babad Tuban. Dalam babad Tuban dikisahkan bahwa penguasa
Tuban sekitar tahun 1400 awal adalah Adipati Arya Adikara. Adipati
Arya Adikara memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Raden Ayu
Teja dan yang bungsu bernama Dewi Retna Dumilah. Putri sulung ini,
dinikahkan dengan seorang ulama muslim bernama Syeh Abdurrahman yang
tidak lain adalah Gan Eng Cu. Sedangkan putri bungsu dinikahi oleh
bangsawan Majapahit bernama Wilwatikta, yaitu ayah dari Raden Said.
Jadi Raden Said adalah keponakan Gan Eng Cu, dan tidak memiliki darah
Tionghoa sama sekali.
Dr.
Said Aqil, sesepuh NU menyatakan bahwa dalam silsilah pengembangan
Islam di Asia dan Indonesia ada pihak-pihak yang perlu diperhatikan
yakni Achmad bin Isa, bin Ali Uraidi bin Ja’far Sadiq bin Muhammad Bakir
bin Ali bin Abidin, bin Husain bin Ali bin Fatimah binti Rasullullah.
Achmad bin Isa pindah ke negeri Campa dan kawin dengan wanita Tionghoa
dan mempunyai anak Abdul Qodir (Tan Kim Han). Dia ini gugur melawan
Mojopahit dan dimakamkan di Desa Tuloyo, Mojokerto. Tan Kim Han, menurut
Said Aqil, menurunkan anak bernama Raden Rachmad Sunan Ampel, lalu
menurunkan KH. Hasim Asy’ari, dan selanjutnya menurunkan KH Wahid Hasyim
dan punya anak bernama KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Kata
Walisanga yang selama ini diartikan sembilan (sanga) wali, ternyata
masih memberikan celah untuk versi penafsiran lain. Sebagian sejarahwan
berpendapat bahwa kata ’sanga’ berasal dari kata ‘tsana’ dari bahasa
Arab, yang berarti mulia. Pendapat lainnya menyatakan kata ’sanga’
berasal dari kata ’sana’ dalam bahasa Jawa yang berarti tempat.
Sedangkan kata Sunan yang menjadi panggilan para anggota Walisanga,
dipercaya berasal dari dialek Hokkian ‘Su’ dan ‘Nan’. ‘Su’ merupakan
kependekan dari kata ‘Suhu atau Saihu’ yang berarti guru. Disebut guru,
karena para wali itu adalah guru-guru Pesantren Hanafiyah, dari mazhab
Hanafi. Sementara ‘Nan’ berarti berarti selatan, sebab para penganut aliran Hanafiah ini berasal dari Tiongkok Selatan.
Keruntuhan Majapahit dan Kebangkitan Demak
Pada
masa pemerintahan Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) tahun 1474-1478,
Majapahit mulai mengalami banyak kemunduran. Selain karena pengaruh
bangkitnya Blambangan pasca perang paregreg tahun 1404, juga adanya
kemerosotan wibawa raja dan bangsawan kerajaan kala itu.
Dalam
Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dikisahkan Jim Bun alias Raden Patah,
anak Kertabhumi dari selirnya yaitu seorang putri Cina yang menganut
agama Islam, menolak menggantikan Arya Damar menjadi bupati Palembang.
Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa,
keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian
mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah
membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren. Makin lama Pesantren
Glagahwangi semakin maju. Raja Brawijaya di Majapahit khawatir kalau
Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah
diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.
Raden
Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit dengan ditemani oleh Bong
Swi Hoo alias Sunan Ampel. Tujuannya adalah untuk meminta pengakuan
bahwa Jim Bun adalah anak raja dan layak mendapat bagian kekuasaan. Raja
Brawijaya merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah
sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan
Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.
Babad
Tanah Jawi dan Serat Kanda mengisahkan bahwa Sunan Ampel melarang
Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama,
Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Tahun wafatnya Sunan Ampel masih
spekulatif, namun menurut Serat kanda dikisahkan bahwa pada tahun 1479
yang meresmikan Masjid Demak dan menobatkan Raden Patah sebagai sultan,
bukan Sunan Ampel, melainkan Sunan Giri, sehingga diperkirakan Sunan
Ampel sudah wafat pada tahun sebelumnya. Kepemimpinan Wali Songo oleh
Sunan Giri berbeda dengan Sunan Ampel. Sunan Giri memiliki ambisi
politis untuk menundukkan Majapahit dan membesarkan Demak.
Menurut
Prof. Muldjana, kronik Cina memberitakan adanya penyerangan Jim Bun
melawan Kung-ta-bu-mi (Kertabhumi / Brawijaya) pada tahun 1478. Perang
terjadi setelah wafatnya Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jim
Bun menggempur ibu kota Majapahit. Raja Brawijaya ditangkap dan
dipindahkan ke Demak secara hormat. Kitab Pararaton (pada bagian akhir)
memberi keterangan berbeda, yaitu Raja Kertabhumi (Brawijaya) wafat
tahun 1400 Saka (1478 Ms) di dalam keraton. Artinya pada saat penyerangan Demak ke Majapahit, Raja Brawijaya terbunuh di dalam keraton.
Sejak
penyerangan Demak tahun 1478, Majapahit berhasil ditundukkan di bawah
pemerintahan Demak. Pada saat ini Kerajaan Majapahit tidak serta merta
musnah, namun masih ada tetapi menjadi negara bawahan Demak. Kronik
Cina mencatat bahwa Jim Bun menunjuk seorang Cina bernama Nyoo Lay Wa
sebagai raja boneka Majapahit. Namun pada tahun 1485 terjadi
pemberontakan kaum pribumi yang menyebabkan Nyoo Lay Wa mati. Lalu Jim
Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la,
yang juga masih menantu Kung-ta-bu-mi.
Hal
ini bertalian dengan Prasasti Petak yang mencatat adanya penyerangan
Sang Munggwing Jinggan dan Girindrawardhana ke Majapahit pada tahun
1486. Pada persitiwa itu Sang Munggwing Jinggan gugur. Atas data ini,
maka dapat diasumsikan bahwa tokoh Pa-bu-ta-la yang tertulis pada kronik
Cina tidak lain adalah Girindrawardhana. Girindrawardhana juga
menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 sebagai maklumat bahwa ia adalah
penguasa baru Majapahit (Wilwatikta, Jenggala dan Kediri).
Pemberontakan Ki Ageng Kutu dan Sejarah Reog Ponorogo
Adalah seorang demang
atau kepala Desa Kutu (daerah Kecamatan Jetis, selatan Kota Ponorogo)
yang bernama Ki Ageng Kutu atau nama lengkapnya Ki Ageng Ketut
Suryongalam. Ia mengendus adanya gelagat Jim Bun untuk menggulingkan
kekuasaan Majapahit. Ia merasa tidak puas melihat ketidaktegasan raja
menolak permintaan Jim Bun. Ia juga tidak puas terhadap sikap raja yang
terlalu lembek sehingga banyak diatur oleh permaisuri kerajaan dalam
mengambil keputusan.
Ki
Ageng Kutu melakukan boikot pembayaran pajak, upeti, dan semua
persembahan kepada raja. Batara Katong, seorang bangsawan Demak berupaya
menundukkan kademangan Kutu. Batoro Katong adalah salah seorang
putra Prabu Brawijaya V dengan Putri Campa yang beragama Islam. Jadi
Batara Katong adalah adik dari Jim Bun alias Raden Patah.
Cerita
perang Kutu-Katong, terlukis dalam Babad Ponorogo berlangsung sangat
seru dan heroik. Keduanya sama-sama sakti dan mempunyai bala tentara
yang banyak dan kuat. Namun akhirnya pasukan Ki Ageng Kutu dapat dipukul
mundur ke daerah perbukitan selatan Ponorogo. Sedangkan Batara Katong
diangkat oleh Demak sebagai Bupati Ponorogo.
Salah
satu bentuk protes Ki Ageng Kutu terasopsi dalam bentuk simbolis tari
Reog yang berkembang di masyarakat Ponorogo hingga sekarang. Dadak-merak
berunsur utama kepala harimau yang ditunggangi seekor merak dengan
bulu ekor yang mengembang. Prabu Bhre Kertabhumi dilambangkan sebagai
harimau dan isterinya yaitu putri Cina dilambangkan merak. Pembuatan
barongan itu sendiri bertujuan untuk menyindir Raja Majapahit yang
dianggap tidak dapat menjalankan tugas kerajaan secara adil dan tertib
karena dipengaruhi oleh permaisurinya.
Unsur Budaya Cina (Tinghoa) dalam Bangunan Masjid Islam Abad 15 – 17 di Jawa
Cendekiawan
NU, Sumanto Al-Qurtuby menyatakan bahwa ada persepsi yang kurang tepat
di kalangan publik Muslim dewasa ini yang meyakini bahwa proses
islamisasi di Jawa itu datang langsung dari Arab atau minimal Timur
Tengah, bukan dari Cina. Kalaupun sebagian mereka ada yang menganggap
adanya pengaruh Gujarat-India, namun Gujarat yang sudah ‘diarabkan’.
Padahal bila diteliti, masjid kuno di Jawa abad 15 dan 16 mempunyai
bentuk yang sangat spesifik. Arsitektur abad ke 15 dan 16 merupakan
arsitektur transisi dari arsitektur Jawa-Hindu/Budha ke arsitektur
Jawa-Islam. Masa transisi tersebut melahirkan bentuk-bentuk bangunan
Masjid yang sangat spesifik.
Qurtuby menyebut abad 15-17 sebagai jaman Sino-Javanese Muslim Culture dengan
bukti di lapangan seperti: Konstruksi Masjid Demak (terutama soko
tatal penyangga Masjid), ukiran batu padas di Masjid Mantingan, hiasan
piring dan elemen tertentu pada Masjid Menara di Kudus, ukiran kayu di
daerah Demak, Kudus dan Jepara, konstruksi pintu makam Sunan Giri di
Gresik, elemen-elemen yang terdapat di keraton Cirebon beserta taman
Sunyaragi, dsb.nya, semuanya ini menunjukkan adanya pengaruh
pertukangan Cina yang kuat sekali.
Handinoto
dan Samuel Hartono dalam jurnalnya “Pengaruh Pertukangan Cina pada
Bangunan Masjid Kuno di Jawa Abad 15-16”, memaparkan adanya bukti-bukti
pengaruh gaya pertukangan Cina pada 3 masjid kuno di Jawa antara lain:
Masjid Demak merupakan salah satu Masjid yang terpentng dan tertua di Jawa (1479). Masjid ini telah mengalami renovasi berulang-ulang sehingga menjadi wujudnya seperti yang sekarang ini. Masjid Demak didirikan pada masa kerajaan Demak yang diperintah oleh Raden Patah pada abad ke 15. Hampir semua sumber historiografi lokal menyebutkan bahwa Raden Patah atau Jim bun adalah seorang Cina Muslim.
Yang menjadi kontroversial sampai sekarang adalah fenomena sokotatal,
yang merupakan konstruksi utama (sokoguru) pada Masjid Demak tersebut.
Menurut catatan Melayu yang dikutip Graaf dikatakan bahwa pembangunan
Masjid Demak pada jaman Raden Patah tidak kunjung selesai disebabkan
karena adanya kesulitan untuk mendirikan atap dari konstruksi kayu
dengan luas 31×31 M, sebab sebelumnya pertukangan setempat tidak pernah
membangun bangunan dengan sistim konstruksi kayu dengan bentang sebesar
yang ada di masjid tersebut. Selanjutnya Bong Kin San, penguasa di
Semarang yang juga ipar Raden Patah, menyediakan diri untuk
menyelesaikan sistim konstuksi kayu di Masjid Demak yang tak kunjung
selesai tersebut. Kin San membawa ahli-ahli pembuat kapal Cina dari
pelabuhan Semarang, untuk membangun Masjid Demak tersebut. Itulah
sebabnya sokotatal tersebut konsruksinya sangat mirip dengan teknik
penyambungan pertukangan kayu pada tiang-tiang kapal Jung Cina.
Ada pula kesamaan bahan bangunan yang digunakan pada
kelenteng Talang (1428) di Cirebon, dengan bahan bangunan yang
digunakan di Masjid Demak. Bahan-bahan tersebut antara lain tegel bata
kuno ukuran 40×40 cm, bata merah kuno ukuran 28×14 cm, serta banyak
paku kuno segi empat. Selain itu juga cara penyelesaian hubungan antara
kolom-kolom struktur utama masjid dengan tanah dipakai batu alam
sebagai perantara. Batu tersebut disebut sebagai ‘umpak’ (dalam ilmu
konstruksi perletakan seperti itu disebut sebagai perletakan sendi).
Ini mengingatkan kita tentang batu umpak yang ada di
kelenteng-kelenteng sepanjang pantai Utara Jawa serta Masjid-masjid
Cina di Kanton. Bentuk mustoko (hiasan yang ada di puncak atap masjid),
berbentuk bola dunia yang dikelilingi oleh 4 ekor ular jelas
terinspirasi oleh tradisi Cina.Hal lain misalnya tepatnya di “mihrab”, pada temboknya terdapat gambar kura-kura. Menurut tradisi Cina jaman itu, lambang kura-kura merupakan simbol kemenangan dinasti Ming (1368-1644), saat berhasil mendirikan dinastinya. Gambar kura-kura pada mihrab Masjid Demak menunjuk pada candra sengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” (Sirna = 0, Ilang = 0, Kerta = 4, Bumi = 1). Kepala kura-kura melambangkan angka 1. Empat kaki kura-kura melambangkan angka 4. Tubuh kura-kura melambangkan angka 0. dan ekor kura-kura melambangkan angka 0. Jadi artinya tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Mihrab masjid dapat pula ditafsir sebagai candra sengkala “Sariro (1) Sunyi (0) Kiblating (4) Gusti (1)” yang menunjuk pada tahun saka 1401 atau 1479 Masehi. Sebagaimana diketahui bahwa mihrab adalah bangunan pertama dan utama masjid, sehingga dapat disimpulkan bahwa Masjid Demak dibangun pada sekitar tahun saka 1400 – 1401 atau 1478 – 1479 Ms. Dalam tradisi Jawa, candrasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” merupakan perlambang penanda waktu runtuhnya Kerajaan Majapahit sekaligus bangkitnya Islam Demak. Sedangkan gambar kura-kura merupakan simbol yang digunakan oleh Dinasti Ming Tiongkok pada akhir abad 13 sebagai lambang kemenangan.
2. Masjid Kudus
Masjid
Kudus atau Masjid Menara didirikan tahun 1537 oleh Kyai Ja’far Sodig
atau Sunan Kudus. Pengaruh arsitektur Hindu terlihat pada menaranya
serta gerbang-gerbang yang dipakai sebagai pintu masuk. Pengaruh Cina
yang mencolok pada Masjid ini antara lain adalah hiasan-hiasan piring
porselen Cina pada dinding-dinding Masjid. Bahkan di dinding menaranya
terdapat piring-piring yang berasal dari negeri Cina.
Sistim
konstruksi kayunya yang juga menggunakan 4 buah soko guru seperti
halnya konstruksi kayu Masjid Demak. Hipotesa yang mungkin adalah
konstruksi kayu Masjid Kudus juga dikerjakan oleh tukang-tukang kayu
Cina dari galangan kapal di Semarang. Menurut cerita tutur setempat ilmu
pertukangan dan ukiran kayu di daerah Kudus adalah warisan dari Kyai
The Ling Sing, yang makamnya terletak tidak jauh dari Masjid Menara Kudus dan tahun kematiannya diperingati setiap tanggal 15 suro (Muharam).
3. Masjid Mantingan
Bentuk
Masjid Mantingan juga menggunakan sokoguru, atapnya bersusun tiga,
adanya serambi didepan, denahnya berbentuk segi empat. Masjid ini
didirikan pada th. 1559 pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat sesuai
candra sengkala yang berbunyi ”Rupa (1) Brahmana (8) Warna (4) Sari (1)”
= 1481 Saka = 1559 Ms.
Ukiran
pada dinding Masjid yang terbuat dari batu padas kuning jelas bermotif
Cina, merupakan salah satu bukti adanya campur tangan pertukangan Cina
di Masjid ini. Bahkan R.A. Kartini (pahlawan wanita nasional yang asal Jepara) pernah menulis dalam kumpulan catatannya (Kartini, Door duisternis),
mengatakan bahwa dia pernah mengunjungi tempat permakaman Sultan
Mantingan (Pangeran Hadliri), dimana di dalamnya banyak terdapat
ukir-ukiran dan serta rumah-rumahan yang bercorak Cina.
Tokoh pertukangan kayu yang berperan besar di daerah Jepara adalah Tjie Wie Gwan. Makam
Tjie Wie Gwan terletak di antara makam pangeran Hadiri dan Ratu
Kalinyamat. Ukir-ukiran kayu yang indah bergaya Cina di makam dalam
komplek Masjid Mantingan tersebut diperkirakan orang setempat sebagai
karya Tjie Wie Gwan, karena ia meninggal beberapa tahun setelah
meninggalnya Ratu Kalinyamat.