Tembok-tembok tinggi itu membentuk lorong putih. Sebagian mengelupas
lalu ditumbuhi lumut. Rumah-rumah tua berarsitektur China, yang sebagian
besar kosong, tersembunyi di dalamnya. Tak terawat, mengisahkan
kemunduran sebuah kota. Lasem kini hanya kecamatan kecil di lintasan
jalan pantai utara Jawa. Sepi dan tak banyak dikenal orang.
Padahal, sejarah Lasem sebenarnya sangat tua, jauh lebih tua
dibandingkan ketika jung yang dinakhodai Bi Nang Un mendarat di Pantai
Regol, Kadipaten Lasem, tahun 1413 M. Dalam Serat Badra Santi, yang
ditulis Mpu Santi Badra tahun 1479 dan diterjemahkan dalam bahasa Jawa
oleh Kamzah R Panji, disebutkan bahwa pada tahun 1273 Saka atau 1351
Masehi, Lasem telah menjadi tanah perdikan Majapahit.
Waktu itu, Lasem dipimpin seorang perempuan bernama Dewi Indu,
keponakan Raja Hayam Wuruk bergelar Bhre Lasem—dalam versi Kitab
Negarakertagama, Bhre Lasem waktu itu adalah seorang putri bernama Sri
Rajasaduhitendudewi, adik perempuan Hayam Wuruk. Bhre merupakan gelar
untuk penguasa daerah di bawah imperium Majapahit.
Masih menurut Badra Santi, Bi Nang Un adalah seorang Campa (daerah
Indochina, sekitar Vietnam, Kamboja, Laos yang waktu itu menjadi bagian
wilayah Kekaisaran Dinasti Ming). Istri nakhoda itu, Puteri Na Li Ni,
dikisahkan yang selanjutnya membawa seni batik ke Lasem.
Penelitian dari Institut Pluralisme Indonesia (IPI) menyebutkan,
motif dan warna batik Lasem, yang didominasi warna merah, merupakan
pertautan budaya Tionghoa dengan budaya Jawa. ”Dari selembar batik Lasem
ada kisah tentang pembauran etnis dan budaya,” kata Njo Tjoen Hian
(72), pembatik Lasem.
Hingga tahun 1970-an, produksi batik Lasem masih termasuk enam besar
di Indonesia —selain Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Banyumas, dan
Cirebon. Direktur IPI William Kwan HL menyebutkan, pemasaran batik Lasem
tidak hanya di Jawa, tetapi juga merambah Sumatera, Bali, Sulawesi,
Semenanjung Malaka (Pulau Penang, Johor, dan Singapura), wilayah Asia
Timur (terutama Jepang), bahkan Suriname. ”Suriname termasuk yang
terbanyak. Dulu, hampir tiap bulan ayah saya mengirim batik hingga 500
lembar kain,” kata Njo Tjoen Hian atau yang juga dikenal dengan Sigit
Witjaksono.
Asal mula
Lasem bukan sekadar batik. Ketika terjadi geger China (1740), Lasem
menjadi titik pusat perlawanan China terhadap Belanda. Perlawanan itu
dipimpin Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat), Raden Panji Margono,
dan Tan Kee Wie. ”Dari Lasem, perlawanan terhadap Belanda menyebar ke
Pati, Kudus, hingga Semarang,” kata Prof Totok Roesmanto dari
Universitas Diponegoro.
Lasem juga dikenal sebagai titik penyelundupan senjata api dari
Singapura. Dari Lasem, menurut catatan Pramoedya Ananta Toer, senjata
dipasok kepada pelarian wanita bangsawan keraton di Rembang, yang
selanjutnya dikirim ke pasukan Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa I
(1825-1830). Akhirnya, jalur penyelundupan terbongkar dan para
penyelundup digantung Kompeni di pusat kota.
”Selain menyelundupkan senjata, mereka juga menyelundupkan candu.
Gudang-gudangnya kini berupa rumah-rumah tua dengan pagar tinggi di tepi
Sungai Lasem di Dasun. Rumah itu kini menjadi sarang burung walet.
Dulu, dari sungai ada terowongan air menuju bangunan itu,” kata Sigit
Witjaksono.
Titik nadir
Muara Sungai Lasem, suatu sore. Perahu-perahu kayu tambat di pinggir
sungai. Angin berembus pelan. Angin yang sama membawa pasukan Dai Nippon
mendarat di pantai ini tahun 1942. Pramoedya Ananta Toer mencatat,
dengan bantuan buku peta Tropisch Nederland dari Lasem, Jepang
menginvasi pedalaman Jawa.
Di Lasem, Jepang mengambil alih satu galangan kapal Belanda, lalu
membangun dua galangan lagi. Sejarah pembuatan kapal di Lasem, yang
telah dimulai sejak era imperium Majapahit dan Mataram Islam,
dilanjutkan Jepang.
Peter Boomgaard dalam bukunya, Children of the Colonial State:
Population Growth and Economic Development in Java, 1795-1880 (1989)
menyebutkan, sebelum kedatangan Belanda, Lasem dan Rembang telah menjadi
pusat pembuatan kapal. Jumlah pekerjanya lebih dari 500 orang.
Dalam buku Summa Oriental, lebih dahulu penjelajah Portugis Tome
Pires (sekitar 1512-1515) mencatat Rembang, yang waktu itu masuk dalam
wilayah kekuasaan Brhe Lasem, sejak dahulu mempunyai galangan kapal.
Dikatakannya, industri kapal berkembang karena hutan di selatan Rembang
lebat. Walau kini sulit sekali menemukan pohon berukuran memadai di
Rembang dan Lasem.
Kisah mengenai galangan kapal Belanda dan Jepang di Lasem dituturkan
Sudaryo (74) di kediamannya di Desa Dasun. Sudaryo masih 9 tahun ketika
membantu ayahnya bekerja di galangan kapal Belanda. ”Waktu itu Lasem
ramai sekali. Lebih dari 200 orang bekerja di galangan kapal. Mereka
membuat kapal besi sepanjang lebih dari 30 meter. Plat besi disatukan
dengan paku yang dilelehkan, bukan disekrup,” kata Sudaryo.
Kapal-kapal Belanda yang selesai dibangun kemudian dikirim ke Batavia
untuk mengangkut hasil bumi dari tanah Jawa. ”Tahun 1942, saat Jepang
datang, galangan kapal Belanda diambil alih. Jepang membuat dua galangan
lagi untuk kapal kayu,” tambah Sudaryo.
Jejak galangan kapal Belanda dan Jepang itu masih dapat dilihat di
Kali Lasem, tepat di Desa Dasun. Tiga fondasi batu, berbentuk cetakan
perahu berukuran panjang lebih dari 50 meter, terlihat di tegalan,
sekitar 10 meter dari tepi Sungai Lasem. ”Dulu galangan kapal persis di
pinggir sungai,” kata Sudaryo. Tembok galangan masih utuh, tetapi lumpur
memenuhi ruang antara tembok dan air sungai. Dulu, tiap enam bulan
Jepang mengeruk alur sungai.
Setelah Jepang pergi, industri kapal di Lasem telantar. Tahun
1970-an, berangsur batik Lasem memudar karena tak ada penerus. Hutan
jati di hulu yang gundul tidak lagi mampu menahan gelontoran tanah masuk
ke sungai sehingga Sungai Lasem pun makin dangkal dan sempit. Kota yang
dibangun trah Bhre Lasem semakin sepi, menuju titik nadir…. (RYO)
Sumber: http://koran.kompas.com/read/xml/2008/09/13/00223871/lasem.simpul.sejarah.yang.pudar