Sejauh ini, perbincangan mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia
masih didominasi dua teori yang sudah klasik dan klise, serta
disinyalir penulis buku ini mengandung penanaman ideologi otentisitas.
Bias ideologi otentisitas itu kira-kira menyatakan, kalau Islam yang
datang ke Nusantara bukan berasal dari tanah Arab atau Timur Tengah,
maka nilai kesahihan dan ke-afdhal-annya akan dipertanyakan. Makanya,
teori pertama tentang datangnya Islam di Nusantara menyatakan
bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang yang berasal dari
Arab/Timur Tengah. Teori ini dikenal sebagai teori Arab, dan dipegang
oleh Crawfurd, Niemann, de Holander. Bahkan Fazlur Rahman juga mengikuti
mazhab ini (Rahman: 1968). Kedua adalah teori India. Teori ini
menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India.
Pelopor mazhab ini adalah Pijnapel yang kemudian diteliti lebih lanjut
oleh Snouck, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra:
1999).
Terlepas dari dua teori di atas, para sejarahwan umumnya melupakan
satu komunitas yang juga memberikan kontribusi cukup besar atas
berkembangnya Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Mereka adalah
komunitas Cina-muslim. Meskipun selama ini terdapat beberapa kajian
tentang muslim Cina di Jawa, tapi uraiannya sangat terbatas, partikular
dan spesifik (hanya menyakup aspek-aspek tertentu saja) di samping
sumber-sumber yang dipakai untuk merekonstruksi sejarah juga masih
terbatas. Makanya, sampai kini bisa dikatakan, belum ada satu karya
ilmiah yang membahas secara ekstensif mengenai kontribusi muslim Cina di
Indonesia.
Padahal, eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa
tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengelana asing,
sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan
juga dibuktikan pelbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini
mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat, sehingga menimbulkan
dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang
disebut Sino-Javanese Muslim Culture. Ukiran padas di masjid kuno
Mantingan-Jepara, menara masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam
Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta taman
Sunyaragi, konstruksi masjid Demak—terutama soko tatal penyangga masjid
beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di Semarang dan
sebagainya, semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup kuat.
Bukti lain dapat ditambah dari dua bangunan masjid yang berdiri megah di
Jakarta, yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan
Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya
Cai.
Nah, pelacakan Sumanto dalam buku ini tidak berhenti di situ. Ia
mendapati bahwa pada nama tokoh yang menjadi agen sejarah, ternyata
telah terjadi verbastering dari nama Cina ke nama Jawa. Nama Bong
Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah
yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang
gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it”
(sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu
kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun.
Dengan ditemukannya beberapa fakta sejarah di atas, seharusnya etnis
Cina mendapatkan perlakukan yang proposional dari pihak pribumi,
khususnya warga muslim. Sikap ramah perlu mereka tunjukkan kepada
mereka, sebagaimana sikap terhadap warga negara Indonesia asli keturunan
Arab, India, atau Eropa. Namun yang terjadi sepanjang sejarah dan saat
ini justru sebaliknya. Pada etnis Cina sebagai komunitas etnis, di mata
masyarakat telah melekat sifat-sifat yang mengandung unsur peyoratif
seperti kikir, eksklusif, hingga identik dengan Konghuchu. Inilah
sebagian pandangan yang diwariskan pihak Belanda kepada masyarakat Jawa
di saat institusi kolonial itu mulai mengukuhkan hegemoninya di negeri
ini. Sikap antipati yang diwarisi dari Belanda itu berawal dari hubungan
harmonis yang terjalin antara masyarakat Jawa dengan etnis Cina, baik
di bidang ekonomi, sosial, maupun politik pada zaman Belanda mulai
menjajah Indonesia. Demi melihat itu semua, kontan Belanda merasa
tersaingi, terutama di dalam bidang perdagangan. Puncaknya, Jendral
Andrian Valckeiner, mengadakan pembantaian massal atas etnis Cina, yang
kemudian dikenal dengan chinezenmoord (pembantaian orang Cina)
yang terjadi pada bulan oktober tahun 1740. Setelah tragedi itu, di
Kudus juga terjadi pertikaian yang disulut oleh semangat anti-Cina. Ini
belum lagi ditambahkan berbagai peristiwa berdarah di negeri ini yang
melampiaskan objek kemarahannya pada etnis Cina pada umumnya.
Tidak hanya berhenti disitu, setelah peristiwa 1740, VOC mengeluarkan kebijakan yang disebut passenstelsel,
yakni keharusan bagi setiap orang Cina untuk mempunyai surat jalan
khusus apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat dia tinggal.
Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan wijkenstelsel.
Peraturan ini melarang orang Cina untuk tinggal di tengah kota dan
mengharuskan mereka membangun “gettho-gettho” berupa pecinan sebagai
tempat tinggal. Kedua kebijakan tersebut bermaksud agar mereka mudah
diawasi dan dikontrol. Inilah salah satu bentuk politik rasialisme
anti-Cina pertama di Jawa, yang lambat laun menciptakan status “in-group” dan “out-group” dalam lapisan masyarakat.Kategori ini kelak menciptakan segregasi sosial-politik-ekonomi Cina dengan pribumi.
Namun argumen yang dipaparkan di atas bukan berarti melegitimasi
etnis Cina—baik muslim maupun non muslim—untuk meminta penghargaan atas
kontribusi nenek moyang mereka atas islamisasi Jawa, dengan penghormatan
yang layak tanpa memperbaiki sikap dengan cara menunjukkan iktikad baik
dalam bersosialisasi dengan pribumi. Yang seharusnya terjadi di antara
etnis Cina—muslim dan non muslim—dengan pribumi adalah simbiosis
mutualisme.
Para sejarahwan yang menyangsikan kontribusi Cina-muslim atas
Islamisasi Jawa, umumnya berangkat dari kenyataan sejarah bahwa aliran
keagamaan yang dibawa dan dikembagkan oleh Cina-muslim adalah mazhab
Hanafi yang berciri rasionalistik. Sedangkan penduduk muslim di
Indonesia mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i. Alasan paling mungkin
untuk menjelaskan fenomena ini adalah telah terjadi perpindahan mazhab
beberapa muslim dari Hanafi ke Syafi’i. Hal itu didorong oleh realitas
sosiologis masyarakat Jawa yang tidak memungkinkan persemaian mazhab
Hanafi yang rasionalistik. Sebaliknya mazhab Syafi’i dinilai lebih
kompatibel dengan semangat kebudayaan masyarakat Jawa yang tidak bisa
dilepaskan dari tradisi lokal (local tradition).
Daerah yang dijadikan sebagai objek kajian oleh Sumanto adalah Jawa.
Satu hal yang membedakan antara tesis yang dihasilkan penulis buku ini
dengan Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.
Objek kajian yang diteliti Azyumardi Azra adalah Sumatra, selain faktor
waktu yang diteliti oleh keduanya juga berbeda. Hanya saja, itu semua
tidak mengurangi nilai penting buku ini sebagai sebuah dokumen analisis
sejarah. Buku ini mencoba memotret lebih jauh peranan yang dimainkan
etnis Cina-muslin dalam proses islamisasi Jawa pada bentangan abad XV
dan XVI. Tujuan buku ini, dengan menganalisis dan mengungkap sisi
sejarah masa itu, diharapkan sentimen primordialistik dan semangat
anti-Cina yang sudah lama mengakar di dalam persepsi masyarakat
Indonesia sedikit demi sedikit dapat berkurang atau hilang sama sekali.
Semoga saja!