Jakarta - Setelah kedatangan Panglima Cheng Ho
sebanyak tiga kali ke Palembang (1413-1415), kaum Muslim dari Tiongkok
berbondong-bondong datang ke Palembang. Mereka datang dengan menggunakan
perahu jukung yang berbulan-bulan mengarungi lautan, seperti Laut Cina
Selatan yang ombaknya terkenal ganas.
Kaum Muslim Tionghoa yang datang ke Palembang sebagian besar bermazhab Hanafih, sebab di masa Dinasty Ming, sebagian besar masyarakat Muslim di Tiongkok menganut mazhab tersebut. Mereka yang datang ini selain sebagai ulama, pedagang, juga pengrajin, tabib, ahli masak dan ahli pertukangan. Lantaran Palembang sejak masa kerajaan Sriwijaya sudah dipengaruhi tradisi dan budaya masyarakat Tionghoa, membuat kaum muslim Tionghoa ini gampang membaur. Artinya tidak ada perbedaan yang mencolok mengenai tradisi dan budaya antara masyarakat Palembang dengan para pendatang Muslim Tionghoa.
Banyak di antara mereka menikah dengan masyarakat Melayu yang masih menganut agama Budha atau Hindu, sehingga melalui tali perkawinan mereka turut menyebarkan ajaran Islam. Contohnya seperti yang dilakukan seorang gadis Muslim Tionghoa yang sering dipanggil Putri China(putri kian), yang menetap di Kuto Gawang, Palembang, menikah dengan Prabu Kertabumi Brawijaya V—seorang pangeran yang menjadi raja terakhir kerajaan Majapahit—yang kemudian melahirkan Raden Hasan atau dikenal sebagai Raden Fatah, selaku pendiri Kesultanan Demak.
Bahkan Putri China ini pun menikah dengan Ario Damar—putra Prabu Kertabumi Brawijaya V—yang menjadi pemimpin Palembang, yang melahirkan Raden Husin atau yang dikenal sebagai Raden Kusen. Ario Damar sendiri masuk Islam, dan mengubah namanya menjadi Ario Abdillah atau biasa disebut Ario Dillah.
"Pembauran Muslim Tionghoa dengan Melayu dan Jawa ini yang kemudian melahirkan etnis Palembang yang dikenal saat ini," kata Abdul Azim Amin, sejarawan dari IAIN Raden Fatah Palembang. Abdul Azim Amin yang biasa dipanggil 'Cek Ajim' ini merupakan keturunan Chu Yu-chien atau Zhu Yujian, pendiri kampung muslim Tionghoa yakni Saudagar Kocing di 3-4 Ulu Palembang.
Menurut Cek Ajim, tradisi Muslim Tionghoa yang bermazhab Hanafih sampai saat ini masih memengaruhi tradisi muslim di Nusantara, khususnya di Palembang, seperti peringatan orang meninggal dunia; tiga hari, tujuh hari, atau 40 hari. Tradisi ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa yang sangat menghormati para leluhurnya.
Pengaruh lainnya yakni seni kaligrafi yang menghiasi rumah maupun peralatan rumah tangga, pakaian, rumah, makanan, tabib atau pengobatan, masjid, termasuk pula tempat pemakaman. Dapat dikatakan hampir semua arsitektur masjid tua di Palembang sangat dipengaruhi oleh arsitektur Tiongkok. Seperti dilihat dari gubahnya, kaligrafi, maupun tiang, pintu dan jendelanya. Masjid-masjid tua itu seperti Masjid Agung, Masjid Lawang Kidul, Masjid Suro, dan Masjid Ki Marogan.
"Jadi kalau ditanya yang mana Muslim Tionghoa itu, ya dapat dikatakan wong Palembang asli itulah Muslim Tionghoa," kata Cek Ajim.
"Wong Palembang ini bukan berarti yang menetap di Palembang, juga yang menetap di daerah pedalaman," lanjutnya.
Pembauran muslim Tionghoa dengan suku Melayu maupun etnis lain seperti Arab, India, dan Persia, ini yang membuat sejumlah orang Palembang berparas mirip orang Tionghoa atau wajahnya memiliki khas tertentu yakni memiliki pipi gembul. Memang tidak dapat dinyatakan secara pasti Muslim di Palembang hanya dipengaruhi oleh kaum Muslim Tionghoa.
Sebab di masa Kesultanan Palembang Darussalam, berdatangan juga para ulama dari Hadramaut, Yaman. Termasuk sebelumnya banyak pedagang dari Gujarat, Persia, yang muslim, telah mengunjungi Palembang. Justru pada saat ini sebagian besar kaum muslim di Palembang bermazhab Syafei yang banyak disebarkan para ulama dari Hadramaut serta keturunan Raden Fatah di Jawa, terutama dari Pajang. Raden Fatah sendiri sama seperti ibundanya, Putri China, menganut mazhab Hanafih.
Kedatangan Muslim Tionghoa
Pada kedatangan Cheng Ho yang kedua ke Palembang pada 1414, dia membawa 63 kapal dengan 28.560 penumpang. Misi kali ini dia memburu dan membawa Sekandar, seorang tawanan dari Sumatra. Sekandar kemudian dihukum mati di Tiongkok.
Mengacu kronologi Barnes, di abad ke-13 setidaknya 83.980 orang China singgah ke Palembang. Sebagian besar mereka itu tentunya kaum muslim, sebab Tiongkok tengah dikuasai Dinasty Ming yang merupakan simbol kekuasaan Muslim di Tiongkok.
Cheng Ho atau Zheng He, nama aslinya Ma Huan. Nama depan 'Ma' dalam khasanah sinologi, melambangkan panggilan buat kaum muslim yang bernama Muhammad. Proses sintese antara kaum Muslim dari Arab dan Persia, dengan orang Cina, khususnya suku Han, berlangsung sejak abad ke-12. Jadi, diperkirakan Cheng Ho, seorang Muslim dari suku Han.
Lalu, kenapa dipanggil Zeng He atau Cheng Ho? Nama depan 'Zheng' serumpun dengan 'Cheng, Chung, atau Trinh (orang vietnam)' berasal dari gelar adipati dalam kerajaan Zheng di wilayah timur Hua, provinsi Shanxi, yang dihapuskan oleh Dinasti Han (206 SM-220). Sejak itu, orang-orang di sana gemar memakai nama depan Zheng. Cheng Ho atau Zheng He, karena itu, merupakan gelar yang diberikan kaisar Ming kepada Ma Huan.
"Diperkirakan, kedatangan leluhur saya dari Kochin ke Palembang, mengikuti jejak perjalanan Cheng Ho," kata Cek Ajim.
Leluhur Cek Ajim ini kemudian menetap di 3-4 Ulu, kemudian disebut sebagai kampung "Saudagar Kucing", semacam penanda seorang saudagar yang berasal dari kampung Kucing (Kochin). Saudagar Kucing yang dimaksud itu bernama asli Chu Yu-chien. Dia adalah cucu Chu Yü-chien, seorang pangeran dari Tiongkok.
Diceritakan Cek Ajim, kakeknya Chu Yu-chien atau Zhu Yujian mangkat sebagai pejabat ketika penguasa Manchu dari Manchuria menangkap Kaisar Ming di ibukota Peking, dan mendirikan dinasti Qing (1644-1911). Chu Yu-chien adalah pewaris terakhir tahta Dinasti Ming.
Sebagai seorang pangeran Ming, Chu merupakan keturunan langsung dari kaisar dinasti Ming yang pertama, Hung-Wu (1368-1398) yang memerintah sejak kejatuhan ibukota Peking. Ming suku bangsa asli di Tiongkok terakhir yang memerintah kedinastian selama hampir tiga abad antara kejatuhan dinasti Yuan-Mongol (1271-1368) dan kenaikan Qing-Manchu. Dinasti Ming menyatukan kembali apa yang kini disebut Negeri Cina setelah hampir 400 tahun diduduki bangsa asing: Mongol dari stepa Asia dan Manchu dari pedalaman Manchuria.
Muslim Tionghoa Generasi Baru
Berbeda dengan kaum muslim Tionghoa atau pendatang terdahulu yang banyak membaur dengan penduduk setempat, maka para imigran Tionghoa yang datang di masa kolonial Belanda, di mana Tiongkok dikuasai Dinasty Qing yang memusuhi kaum muslim, dimasukan sebagai kelas kedua bersama para pendatang lainnya. Penduduk asli yang mayoritas Islam diletakan sebagai kelas ketiga. Sementara kaum muslim Tionghoa yang masih asli dipulang penjajah Belanda ke Tiongkok yang biasa disebut 'Huakiao'.
Akibat politik 'memecah-belah' itu menyebabkan etnis Tionghoa yang non-Muslim, tidak mau memilih agama Islam sebagai keyakinan, meskipun Islam pernah menyatukan seluruh daratan Tiongkok di masa dinasty Ming. Jika tidak memeluk Katolik, Protestan, Budha, mereka memeluk agama para leluhurnya yakni Konghocu. Ada dua alasannya, pertama mereka takut dikucilkan atau dikembalikan ke Tiongkok oleh kolonial Belanda, dan yang kedua dalam perkembangan selanjutnya mereka setuju dengan penempatan sebagai kelas kedua yang tentu saja berbeda dengan penduduk asli.
Meskipun demikian masih banyak kaum Tionghoa yang secara diam-diam masih memegang Islam sebagai agama atau kepercayaannya. Mereka ini kemudian turut terlibat dalam berbagai kegiatan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Setelah peristiwa 1965—yang mana banyak etnis Tionghoa dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berbuntut pemulangan ribuan etnis Tionghoa ke Tiongkok—etnis Tionghoa di Palembang mulai banyak memeluk agama Islam. Kaum Muslim Tionghoa ini kemudian banyak bergabung dengan PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), yang saat ini jumlah anggotanya di Indonesia mencapai 85 ribu lebih.
Berbeda dengan Muslim Tionghoa sebelumnya, Muslim Tionghoa di masa kini banyak mengikuti mazhab Syafei, yang merupakan mazhab mayoritas kaum muslim di Indonesia, yang mulai berkembang di masa Kesultanan Demak yang dipindahkan ke Pajang. PITI didirikan Abdul Karim Oei, seorang Muslim Tionghoa kelahiran Padang, Sumatera Barat, pada 1905.
Karim Oei menjadi Muslim pada 1929 setelah hijrah ke Bengkulu. Di sana, dia diangkat menjadi Konsul Muhammadiyah. Saat itu, dia akrab dengan Bung Karno yang sedang dalam pembuangan. Kemudian ia menjadi salah satu pimpinan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan setelah itu mendirikan PITI di Jakarta. Jadi PITI tak lepas dari dukungan Muhammadiyah.
Setelah peristiwa politik pada 1965, simbol-simbol yang menghambat pembauran dilarang pemerintah. Pada 15 Desember 1972, PITI mengubah kepanjangannya menjadi Pembina Iman Tauhid Indonesia. Dalam melakukan pembinaan agama, PITI dibantu Yayasan Haji Karim Oei, yang mengurus masjid, perpustakaan, dan beberapa kegiatan keagamaan. Pengurus PITI saat menyebar di 16 kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Palembang, serta Pontianak. Sementara di Palembang, saat ini kaum muslim Tionghoa yang bergabung ke PITI sekitar 4.000 orang.
Masjid Cheng Ho
Perkembangan kaum Muslim Tionghoa di Indonesia, termasuk di Palembang, pada masa kekinian tidak lepas dari keberadaan masjid Cheng Ho atau Lau Tze. Masjid pertama yang didirikan kaum muslim Tionghoa yakni Masjid Lau Tze yang didirikan Abdul Karim Oei di Jakarta pada 1991.
Selanjutnya masjid Cheng Ho didirikan di Surabaya, Semarang, Palembang, serta masjid Ronghe di Bandung. Masjid Cheng Ho di Palembang seperti halnya di Surabaya, mengadopsi arsitektur Masjid Niu Jie di Beijing, Tiongkok. Berbeda dengan di Jakarta, Semarang maupun Surabaya, Masjid Cheng Ho yang mulai dibangun tahun 2003, didirikan bukan di kawasan perkampungan Tionghoa.
Masjid Cheng Ho berdiri di Jakabaring, di tengah-tengah pemukiman penduduk yang beragam, sehingga masjid ini bukan hanya didatangi kaum muslim Tionghoa juga kaum Muslim dari etnis lainnya. Setiap pekan, di masjid ini dapat dipastikan ada etnis Tionghoa yang berikrar memeluk agama Islam.
Kaum Muslim Tionghoa yang datang ke Palembang sebagian besar bermazhab Hanafih, sebab di masa Dinasty Ming, sebagian besar masyarakat Muslim di Tiongkok menganut mazhab tersebut. Mereka yang datang ini selain sebagai ulama, pedagang, juga pengrajin, tabib, ahli masak dan ahli pertukangan. Lantaran Palembang sejak masa kerajaan Sriwijaya sudah dipengaruhi tradisi dan budaya masyarakat Tionghoa, membuat kaum muslim Tionghoa ini gampang membaur. Artinya tidak ada perbedaan yang mencolok mengenai tradisi dan budaya antara masyarakat Palembang dengan para pendatang Muslim Tionghoa.
Banyak di antara mereka menikah dengan masyarakat Melayu yang masih menganut agama Budha atau Hindu, sehingga melalui tali perkawinan mereka turut menyebarkan ajaran Islam. Contohnya seperti yang dilakukan seorang gadis Muslim Tionghoa yang sering dipanggil Putri China(putri kian), yang menetap di Kuto Gawang, Palembang, menikah dengan Prabu Kertabumi Brawijaya V—seorang pangeran yang menjadi raja terakhir kerajaan Majapahit—yang kemudian melahirkan Raden Hasan atau dikenal sebagai Raden Fatah, selaku pendiri Kesultanan Demak.
Bahkan Putri China ini pun menikah dengan Ario Damar—putra Prabu Kertabumi Brawijaya V—yang menjadi pemimpin Palembang, yang melahirkan Raden Husin atau yang dikenal sebagai Raden Kusen. Ario Damar sendiri masuk Islam, dan mengubah namanya menjadi Ario Abdillah atau biasa disebut Ario Dillah.
"Pembauran Muslim Tionghoa dengan Melayu dan Jawa ini yang kemudian melahirkan etnis Palembang yang dikenal saat ini," kata Abdul Azim Amin, sejarawan dari IAIN Raden Fatah Palembang. Abdul Azim Amin yang biasa dipanggil 'Cek Ajim' ini merupakan keturunan Chu Yu-chien atau Zhu Yujian, pendiri kampung muslim Tionghoa yakni Saudagar Kocing di 3-4 Ulu Palembang.
Menurut Cek Ajim, tradisi Muslim Tionghoa yang bermazhab Hanafih sampai saat ini masih memengaruhi tradisi muslim di Nusantara, khususnya di Palembang, seperti peringatan orang meninggal dunia; tiga hari, tujuh hari, atau 40 hari. Tradisi ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa yang sangat menghormati para leluhurnya.
Pengaruh lainnya yakni seni kaligrafi yang menghiasi rumah maupun peralatan rumah tangga, pakaian, rumah, makanan, tabib atau pengobatan, masjid, termasuk pula tempat pemakaman. Dapat dikatakan hampir semua arsitektur masjid tua di Palembang sangat dipengaruhi oleh arsitektur Tiongkok. Seperti dilihat dari gubahnya, kaligrafi, maupun tiang, pintu dan jendelanya. Masjid-masjid tua itu seperti Masjid Agung, Masjid Lawang Kidul, Masjid Suro, dan Masjid Ki Marogan.
"Jadi kalau ditanya yang mana Muslim Tionghoa itu, ya dapat dikatakan wong Palembang asli itulah Muslim Tionghoa," kata Cek Ajim.
"Wong Palembang ini bukan berarti yang menetap di Palembang, juga yang menetap di daerah pedalaman," lanjutnya.
Pembauran muslim Tionghoa dengan suku Melayu maupun etnis lain seperti Arab, India, dan Persia, ini yang membuat sejumlah orang Palembang berparas mirip orang Tionghoa atau wajahnya memiliki khas tertentu yakni memiliki pipi gembul. Memang tidak dapat dinyatakan secara pasti Muslim di Palembang hanya dipengaruhi oleh kaum Muslim Tionghoa.
Sebab di masa Kesultanan Palembang Darussalam, berdatangan juga para ulama dari Hadramaut, Yaman. Termasuk sebelumnya banyak pedagang dari Gujarat, Persia, yang muslim, telah mengunjungi Palembang. Justru pada saat ini sebagian besar kaum muslim di Palembang bermazhab Syafei yang banyak disebarkan para ulama dari Hadramaut serta keturunan Raden Fatah di Jawa, terutama dari Pajang. Raden Fatah sendiri sama seperti ibundanya, Putri China, menganut mazhab Hanafih.
Kedatangan Muslim Tionghoa
Pada kedatangan Cheng Ho yang kedua ke Palembang pada 1414, dia membawa 63 kapal dengan 28.560 penumpang. Misi kali ini dia memburu dan membawa Sekandar, seorang tawanan dari Sumatra. Sekandar kemudian dihukum mati di Tiongkok.
Mengacu kronologi Barnes, di abad ke-13 setidaknya 83.980 orang China singgah ke Palembang. Sebagian besar mereka itu tentunya kaum muslim, sebab Tiongkok tengah dikuasai Dinasty Ming yang merupakan simbol kekuasaan Muslim di Tiongkok.
Cheng Ho atau Zheng He, nama aslinya Ma Huan. Nama depan 'Ma' dalam khasanah sinologi, melambangkan panggilan buat kaum muslim yang bernama Muhammad. Proses sintese antara kaum Muslim dari Arab dan Persia, dengan orang Cina, khususnya suku Han, berlangsung sejak abad ke-12. Jadi, diperkirakan Cheng Ho, seorang Muslim dari suku Han.
Lalu, kenapa dipanggil Zeng He atau Cheng Ho? Nama depan 'Zheng' serumpun dengan 'Cheng, Chung, atau Trinh (orang vietnam)' berasal dari gelar adipati dalam kerajaan Zheng di wilayah timur Hua, provinsi Shanxi, yang dihapuskan oleh Dinasti Han (206 SM-220). Sejak itu, orang-orang di sana gemar memakai nama depan Zheng. Cheng Ho atau Zheng He, karena itu, merupakan gelar yang diberikan kaisar Ming kepada Ma Huan.
"Diperkirakan, kedatangan leluhur saya dari Kochin ke Palembang, mengikuti jejak perjalanan Cheng Ho," kata Cek Ajim.
Leluhur Cek Ajim ini kemudian menetap di 3-4 Ulu, kemudian disebut sebagai kampung "Saudagar Kucing", semacam penanda seorang saudagar yang berasal dari kampung Kucing (Kochin). Saudagar Kucing yang dimaksud itu bernama asli Chu Yu-chien. Dia adalah cucu Chu Yü-chien, seorang pangeran dari Tiongkok.
Diceritakan Cek Ajim, kakeknya Chu Yu-chien atau Zhu Yujian mangkat sebagai pejabat ketika penguasa Manchu dari Manchuria menangkap Kaisar Ming di ibukota Peking, dan mendirikan dinasti Qing (1644-1911). Chu Yu-chien adalah pewaris terakhir tahta Dinasti Ming.
Sebagai seorang pangeran Ming, Chu merupakan keturunan langsung dari kaisar dinasti Ming yang pertama, Hung-Wu (1368-1398) yang memerintah sejak kejatuhan ibukota Peking. Ming suku bangsa asli di Tiongkok terakhir yang memerintah kedinastian selama hampir tiga abad antara kejatuhan dinasti Yuan-Mongol (1271-1368) dan kenaikan Qing-Manchu. Dinasti Ming menyatukan kembali apa yang kini disebut Negeri Cina setelah hampir 400 tahun diduduki bangsa asing: Mongol dari stepa Asia dan Manchu dari pedalaman Manchuria.
Muslim Tionghoa Generasi Baru
Berbeda dengan kaum muslim Tionghoa atau pendatang terdahulu yang banyak membaur dengan penduduk setempat, maka para imigran Tionghoa yang datang di masa kolonial Belanda, di mana Tiongkok dikuasai Dinasty Qing yang memusuhi kaum muslim, dimasukan sebagai kelas kedua bersama para pendatang lainnya. Penduduk asli yang mayoritas Islam diletakan sebagai kelas ketiga. Sementara kaum muslim Tionghoa yang masih asli dipulang penjajah Belanda ke Tiongkok yang biasa disebut 'Huakiao'.
Akibat politik 'memecah-belah' itu menyebabkan etnis Tionghoa yang non-Muslim, tidak mau memilih agama Islam sebagai keyakinan, meskipun Islam pernah menyatukan seluruh daratan Tiongkok di masa dinasty Ming. Jika tidak memeluk Katolik, Protestan, Budha, mereka memeluk agama para leluhurnya yakni Konghocu. Ada dua alasannya, pertama mereka takut dikucilkan atau dikembalikan ke Tiongkok oleh kolonial Belanda, dan yang kedua dalam perkembangan selanjutnya mereka setuju dengan penempatan sebagai kelas kedua yang tentu saja berbeda dengan penduduk asli.
Meskipun demikian masih banyak kaum Tionghoa yang secara diam-diam masih memegang Islam sebagai agama atau kepercayaannya. Mereka ini kemudian turut terlibat dalam berbagai kegiatan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Setelah peristiwa 1965—yang mana banyak etnis Tionghoa dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berbuntut pemulangan ribuan etnis Tionghoa ke Tiongkok—etnis Tionghoa di Palembang mulai banyak memeluk agama Islam. Kaum Muslim Tionghoa ini kemudian banyak bergabung dengan PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), yang saat ini jumlah anggotanya di Indonesia mencapai 85 ribu lebih.
Berbeda dengan Muslim Tionghoa sebelumnya, Muslim Tionghoa di masa kini banyak mengikuti mazhab Syafei, yang merupakan mazhab mayoritas kaum muslim di Indonesia, yang mulai berkembang di masa Kesultanan Demak yang dipindahkan ke Pajang. PITI didirikan Abdul Karim Oei, seorang Muslim Tionghoa kelahiran Padang, Sumatera Barat, pada 1905.
Karim Oei menjadi Muslim pada 1929 setelah hijrah ke Bengkulu. Di sana, dia diangkat menjadi Konsul Muhammadiyah. Saat itu, dia akrab dengan Bung Karno yang sedang dalam pembuangan. Kemudian ia menjadi salah satu pimpinan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan setelah itu mendirikan PITI di Jakarta. Jadi PITI tak lepas dari dukungan Muhammadiyah.
Setelah peristiwa politik pada 1965, simbol-simbol yang menghambat pembauran dilarang pemerintah. Pada 15 Desember 1972, PITI mengubah kepanjangannya menjadi Pembina Iman Tauhid Indonesia. Dalam melakukan pembinaan agama, PITI dibantu Yayasan Haji Karim Oei, yang mengurus masjid, perpustakaan, dan beberapa kegiatan keagamaan. Pengurus PITI saat menyebar di 16 kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Palembang, serta Pontianak. Sementara di Palembang, saat ini kaum muslim Tionghoa yang bergabung ke PITI sekitar 4.000 orang.
Masjid Cheng Ho
Perkembangan kaum Muslim Tionghoa di Indonesia, termasuk di Palembang, pada masa kekinian tidak lepas dari keberadaan masjid Cheng Ho atau Lau Tze. Masjid pertama yang didirikan kaum muslim Tionghoa yakni Masjid Lau Tze yang didirikan Abdul Karim Oei di Jakarta pada 1991.
Selanjutnya masjid Cheng Ho didirikan di Surabaya, Semarang, Palembang, serta masjid Ronghe di Bandung. Masjid Cheng Ho di Palembang seperti halnya di Surabaya, mengadopsi arsitektur Masjid Niu Jie di Beijing, Tiongkok. Berbeda dengan di Jakarta, Semarang maupun Surabaya, Masjid Cheng Ho yang mulai dibangun tahun 2003, didirikan bukan di kawasan perkampungan Tionghoa.
Masjid Cheng Ho berdiri di Jakabaring, di tengah-tengah pemukiman penduduk yang beragam, sehingga masjid ini bukan hanya didatangi kaum muslim Tionghoa juga kaum Muslim dari etnis lainnya. Setiap pekan, di masjid ini dapat dipastikan ada etnis Tionghoa yang berikrar memeluk agama Islam.
(Taufik Wijaya - detikRamadan)