Oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra
Gurubesar dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Makalah Muhibah MUI ke Quanzhou, Xiamen, Xi An, dan Beijing, 12 - 24 Mei 2012
Sejak
bermulanya masa reformasi Indonesia berikutan dengan mundurnya Presiden
Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998, berlangsung pulalah kebebasan
sosio-kultural dan keagamaan warga keturunan Tionghoa. Memang, sejak
Jenderal Soeharto memegang kekuasaan seusai Peristiwa 30S/PKI warga
keturunan mengalami berbagai pembatasan dan hambatan dalam banyak
lapangan kehidupan—kecuali agaknya dalam bidang ekonomi berbarengan
dengan pembangunan ekonomi yang digiatkan Presiden Soeharto.
Dalam
masa reformasi, khususnya sejak masa Presiden Abdurrahman Wahid,
terkenal sebagai Gus Dur, yang sebelumnya merupakan Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), warga keturunan kembali dapat sepenuhnya
mengekspresikan kekayaan sosio-kultural dan agamanya. Adalah Presiden
Gus Dur yang memberikan peluang besar bagi pengakuan negara atas
Konghucu sebagai agama—menjadi salah satu dari enam agama yang sejauh
ini telah mendapat pengakuan negara Republik Indonesia.
Kebebasan warga keturunan itu ikut memperkuat kembali bhinneka tunggal ika,
salah satu dari empat prinsip negara-bangsa Indonesia, selain UUD 1945,
Pancasila, dan NKRI. Lihatlah contoh ini; warga keturunan China Indonesia, khususnya yang beragama Budha dan Konghucu merayakan Tahun Baru Imlek 2558 yang bertepatan dengan Minggu 18 Februari 2007 M. atau 30 Muharam 1428 H. Sementara itu sebagian warga keturunan yang memeluk Kristen (Protestan) dan Katolik merayakan Tahun Baru Masehi 2007, dan sebagian mereka lainnya yang beragama Islam juga memperingati Tahun Baru Hijriah (Sabtu 20 Januari 2007). Jadi, masyarakat keturunan China Indonesia dapat hampir secara beriringan dalam waktu memperingati tiga tahun baru sekaligus; Tahun Baru Imlek, Tahun Baru Masehi, dan Tahun Baru Hijri.
Jejak Historis Hubungan Muslim Kedua Kawasan
Bagi masyarakat China, baik di mainland maupun di perantauan (overseas)—khususnya
di Kawasan Nanyang (Nan-Hai), laut selatan atau Nusantara, dan lebih
khusus di Indonesia, Islam sebenarnya secara historis bukanlah sesuatu hal baru. Di mainland China, Islam bahkan dalam ingatan bersama (collective memory) kaum Muslim China (Sino Muslim) telah berkembang sejak abad pertama hijri atau abad ketujuh masehi, dibawa pertama kali oleh seseorang yang disebut Sa'ad atau Sa’ad ibn Lubayd, yang sering diidentikkan dengan Sa'ad ibn ‘Abî Waqqâs, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Tidak
ada sumber yang dapat mengkorobasi riwayat tentang Sa’ad ibn Abi Waqqas
ini; sementara sumber-sumber Arab menyatakan bahwa ia tidak pernah
pergi ke China. Sedangkan identitas Sa'ad ibn Lubayd sendiri tidak dapat diketahui pasti; belum terlacak dalam historiografi berbahasa Arab.
Terlepas dari kesulitan identifikasi tentang Sa'ad, kontak antara Dunia Islam--khususnya Arabia—dengan China telah berjalan cukup intens. Selama 90 tahun masa Dinasti Umaiyyah, tak kurang dari 17 Duta (envoys) Muslim muncul di istana China; selain membawa pesan diplomatik, mereka sekaligus adalah ‘duta perdagangan’ (trade envoys).
Mereka diikuti sekitar 18 duta yang dikirim penguasa Dinasti Abbasiyyah
dalam periode 750-798. Kunjungan-kunjungan ini mendorong perkembangan
Islam di China, sehingga kaum Muslimin China dan pendatang dilaporkan sampai mampu membentuk ‘koloni’ Ta Shih di Kanfu (Kanton). Selain itu, terdapat pula koloni Muslim yang cukup besar sejak pertengahan abad ke-8 di Pulau Hainan dan kota Yang Chou.
Jika dilacak lebih jauh, hubungan antara Nusantara dengan mainland
China sudah terjalin sejak masa pra-Islam, sehingga meninggalkan
berbagai jejak historis penting. Sumber-sumber China bahkan memberi banyak informasi penting tentang Nusantara, termasuk pada masa awal kedatangan Islam yang ‘diwakili’ para pedagang Muslim asal Arabia di
Nusantara. Riwayat perjalanan pendeta-pengembara terkenal I-Tsing yang
singgah di pelabuhan Sribuza (Sriwijaya) pada 671 mencatat kehadiran
orang-orang Arab dan juga Persia di sana. Pengembara Chau Ju-Kua (hidup pada abad 12) dalam catatannya berjudul Chu-fanchi atau lebih dikenal sebagai buku Ju-ku Chua tentang perdagangan China dan Arabia yang melintasi Nusantara juga memberitakan tentang adanya "koloni Arab" di pesisir barat Sumatra, paling mungkin di Barus.
Buku Ju-ku Chua dan banyak sumber China ini sangat penting untuk mengungkapkan hubungan antara Muslim di kedua kawasan. Tetapi salah satu masalah pokok dalam menangani sumber-sumber China adalah sulitnya mengidentifikasi nama-nama orang dan tempat yang mereka sebutkan dengan nama-nama dalam bahasa lokal sebagaimana dikenal dalam sejarah Nusantara. Dan riwayat yang mereka sampaikan juga sulit diverifikasi dengan sumber-sumber lokal, Arab, dan Persia.
Terlepas dari kesulitan itu, terkait dengan intensitas hubungan antar-Samudera antara Arabia-Nusantara dan "koloni Muslim" di China, tidak heran kalau kemudian juga ada teori tentang asal-muasal Islam di Nusantara yang "turun dari wilayah China", seperti dikemukakan Slamet Mulyana (Runtuhnya Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara
(1968; cetak ulang 2005, LKIS). Pendapat Slamet Muljana paling
kontroversial yang ditolak banyak sejarawan dan ahli tentang kedatangan
Islam ke Nusantara adalah bahwa Wali Songo berasal dari China.
Pemerintah Orde Baru yang sangat sensitif dengan isyu ini akhirnya
melarang peredaran buku tersebut.
Argumen tentang adanya ‘tetesan’ (trickle down) Islam dari China ke Nusantara juga dikemukakan ahli Belanda G. Th. Pigeaud dalam Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon (ed. MC Ricklefs, 1984). Berdasarkan Babad Semarang dan Babad Cirebon, Piegaud menyatakan terdapatnya sejumlah orang China Muslim yang berasal dari China mainland yang aktif dalam proses Islamisasi di kawasan pantai utara Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Masih
tentang Islamisasi Jawa pada abad 15, Muslim China, Ma Huan dan utusan
Emperor China Yongle yang mengunjungi pesisir utara Jawa pada 1416
menulis laporannya dalam Ying-yai Shen-lan: The Overall Survey of the Indian Shores
(1443). Dalam historiografi ini keduanya menyatakan, bahwa hanya ada
tiga kelompok masyarakat Jawa pada masa itu: pertama Muslim dari wilayah
Barat, kedua China (sebagiannya Muslim), dan orang Jawa yang masih
belum beragama.
Mengingat teori saya saya sendiri tentang sumber dan asal Islam di Nusantara seperti berbagai "mataair dari sebuah sungai", boleh jadi juga terjadi trickle down Islam ke Nusantara dari beberapa koloni Muslim yang ada di China (lihat, Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern Ulama, 2005). Letak
Nusantara yang berada di lintas samudera dan lintas benua, memungkinkan
terjadinya ‘tetesan’ Islam dari utara; tetapi mataair utama Islam
Nusantara bisa dipastikan adalah Arabia, tegasnya Makkah dan Madinah,
Mesir, dan Iraq.
Adanya ‘tetesan’ itu lebih jauh misalnya juga
terlihat dari riwayat mengenai Laksamana Cheng Ho (Zheng Ho, disebut
pula sebagai Haji Sam Bo Po) yang mengadakan pelayaran pada sekitar
1405-1433. Zheng Ho yang bahkan diklaim sebagai keturunan ke-37 Nabi
Muhammad SAW meninggalkan warisan masjid, yang lebih dikenal sebagai klenteng Sam Po Kong di Semarang, Jawa Tengah.
Selain
Zheng Ho masih terdapat sejumlah pengembara, pelaut, dan pemukim China
Muslim--yang sayangnya riwayat mereka sangat sulit diverifikasi secara
akurat. Mereka mencakup, misalnya; Haji Mah Hwang dan Haji Feh Tsin,
anggota angkatan laut China yang dikatakan sering salat di masjid
Semarang; Haji Boh Tak Keng asal Champa; Haji Gan Eng Cu di Tuban; Jin
Bun yang dikatakan adalah Raden Patah (Demak); Tung Ka Lo, yang diklaim
sebagai Sultan Trenggana; dan sebagainya.
Pada masa pra-kolonial, orang-orang atau komunitas China beserta unsur budayanya lambat laun melebur dengan budaya lokal. Sampai abad ke-15, seperti disimpulkan Denys Lombard dalam Nusa Jawa (1996), kebanyakan orang asal China yang menetap di pesisir pulau-pulau Nusantara menganut Islam. Bahkan istilah "babah"--yang sampai sekarang masih digunakan untuk menyebut laki-laki China—adalah gelar kehormatan yang sangat dikenal di Dunia Muslim, khususnya di Turki untuk menyebut seorang tokoh terkemuka atau seorang syeikh penyebar Islam.
Lebih
jauh lagi, hubungan dan koneksi di antara masyarakat Muslim Nusantara
dan Muslim China juga terjalin melalui jaringan ulama sepanjang abad
17-18 (Azra 2005). Mata rantai utama jaringan tersebut terbentuk antara
lain melalui Ma Ming Xing, seorang ulama dan mursyid Tarekat
Naqsyabandiyah pada abad 18, yang seperguruan dengan ulama besar
Indonesia Syekh Abd al-Samad al-Palimbani dan Muhammad Arsyad
al-Banjari. Mereka belajar dari guru-guru yang sama di Yaman, dan
kemudian juga di Makkah dan Madinah.
"Economic-Cultural Gap" dan Langkah Ke Depan
Integrasi orang dan komunitas China
perantauan ke dalam masyarakat Muslim Nusantara mulai terganggu dengan
kedatangan kolonialisme Belanda, yang kemudian menjadikan orang-orang
China sebagai pialang (middlemen atau brokers) dalam
perdagangan mereka dengan masyarakat pribumi. Disrupsi dan kehancuran
ekonomi masyarakat Muslim pribumi akibat praktik monopoli pasca Belanda
yang dibantu pialang China dalam perjalanan waktu menumbuhkan sikap antipati dari kalangan pribumi terhadap masyarakat China keturunan.
Terputusnya hubungan antara Nusantara dengan China mainland sejak 1740-an sempat menimbulkan kebingungan
di kalangan China Muslim keturunan, sehingga muncullah kembali
kecenderungan mereka untuk menganut Islam dalam rangka asimilasi atau pembauran dengan
masyarakat pribumi. Komunitas Muslim keturunan kembali membangun masjid
mereka sendiri, dan mengubur anggota komunitas mereka yang meninggal
pada kuburan Muslim. Pada saat yang sama juga terjadi asimilasi kultural; orang-orang dan keluarga terkemuka China menerima dan mengadopsi aspek tertentu budaya Jawa, Sunda, Minang, dan seterusnya.
Asimilasi
dan upaya dakwah Islam terhadap warga keturunan kembali terganggu
dengan terjadinya radikalisasi masyarakat Muslim pribumi dalam melawan Belanda. Dan di sini, warga keturunan kadang-kadang menjadi terkait dalam konflik dan perang, seperti terlihat dalam Perang Jawa, pimpinan Pangeran Diponegoro (1825-1830). Menurut sejarah resmi Indonesia, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya marah karena adanya warga keturunan China yang diberikan hak istimewa untuk memungut pajak dan biaya toll jalan di sekitar kediaman Diponegoro. Konflik yang sering berujung dengan kerusuhan anti-China juga terjadi dalam waktu-waktu tertentu sepanjang masa kolonialisme
Belanda, khususnya lagi ketika nasionalisme Indonesia, seperti diwakili
Sarekat Islam (SI) mengalami kebangkitan pada awal abad ke-20.
Alineasi warga keturunan dari masyarakat pribumi mencapai puncaknya pada 1854 dengan penetapan status warga Belanda (dan Eropa lainnya) pada puncak stratifikasi sosial masyarakat kolonial. Selanjutnya, warga keturunan (China) ditempatkan pada stratifikasi sosial kedua bersama bangsa-bangsa Timur Asia (India dan Arab). Sedangkan masyarakat pribumi ditempatkan sebagai kelas tiga—stratifikasi sosial terbawah. Stratifikasi sosial dan penggolongan warga Netherlands East-Indies berdasarkan kategori etnis ini kian memperkuat cultural gap
di antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi. Dan sebaliknya
asosiasi kultural dan keagamaan dengan Belanda--dan sekaligus Kristianitas (Kristen Protestan dan Katolik--semakin
meningkat di kalangan masyarakat keturunan. Dalam semua proses ini
terjadilah pembentukan prasangka timbal balik di antara warga keturunan
dengan masyarakat Muslim pribumi. Prasangka dan bias kultural itu juga mencakup agama yang dipeluk masing-masing komunitas tersebut.
Perkembangan sosio-kultural dan politik pasca G30S/PKI
semakin kurang menguntungkan hubungan antara masyarakat pribumi Muslim
dengan warga keturunan. Ketakutan warga China keturunan terhadap
"pembersihan" yang dilakukan masyarakat Muslim pribumi terhadap orang eks komunis membuat gap
di antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi semakin lebar. Sama
seperti banyak orang komunis lain yang secara massal masuk Kristianitas karena takut dituduh "atheis", terjadilah gelombang besar warga keturunan masuk agama Kristianitas. Perkembangan ini kian kurang menguntungkan dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengharamkan setiap dan seluruh ekspresi sosio-kultural warga keturunan.
Meski
demikian, upaya mengembangkan akulturasi dan asimilasi, khususnya
melalui Islam bukan tidak ada. Dalam hal ini penting dicatat usaha yang
dilakukan Haji Abdul Karim Oei Tjeng Hien (6 Juni 1905-14 Oktober 1988),
tokoh Muhammadiyah, yang kemudian bersama Abdusshomad Yap Asiong
(pimpinan PIT/Persatuan Islam Tionghoa) dan Kho Goan Tjin (pimpinan
Persatuan Muslim Tionghoa/PMT) mendirikan organisasi Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia (PITI) pada 14 April 1961. Pada masa rejim Orde
Baru, kepanjangan PITI diubah menjadi Persatuan Iman Tauhid Islam;
tetapi pada Mei 2000, kepanjangan PITI dikembalikan kepada aslinya,
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Perlu disinggung, sangat aktif dalam
upaya pembauran, Abdul Karim Oei juga menjadi anggota Bakom PKAB dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Meski ada PITI, economic and socio-cultural gaps antara warga keturunan dengan masyarakat Muslim pribumi sebagian besar tetap bertahan terutama terkait dengan adanya disparitas ekonomi yang semakin tajam pada masa Orde Baru antara warga keturunan dengan masyarakat lainnya. Tetapi, para pengusaha keturunan berkolaborasi dengan penguasa Orde Baru yang beragama Islam dalam berbagai sektor ekonomi.
Karena pemerintah Presiden Soeharto
mengharamkan setiap pembicaraan tentang hubungan antara warga keturunan
dengan masyarakat pribumi dengan alasan termasuk masalah SARA,
terjadilah pengendapan social resentment dengan potensi konflik dan kekerasan cukup besar terhadap warga keturunan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya ledakan kekerasan (violence outburst) dari waktu ke waktu dari masyarakat pribumi terhadap warga keturunan; puncaknya adalah kerusuhan anti warga keturunan China dalam skala besar pada hari-hari seputar jatuhnya Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998.
Kini, di masa pasca Soeharto ketika masyarakat keturunan China bebas mengekspresikan kekayaan sosio-kultural dan keagamaannya, hubungan antara warga keturunan dengan masyarakat Muslim pribumi relatif tidak terganggu lagi.
Adopsi demokrasi sejak 1999 membuka peluang besar bagi munculnya
kembali politisi keturunan dalam kancah politik dan pemerintahan pusat
dan daerah.
Perkembangan
seperti ini cukup menjanjikan bagi hubungan lebih harmonis di antara
warga keturunan dengan komunitas lainnya di Indonesia; dapat semakin kuat di masa kini dan mendatang. Warga keturunan bersama banyak komunitas lain kian dapat menghilangkan—atau setidaknya meminimalisasi—prasangka sosial-kultural dan keagamaan timbal balik yang tidak menguntungkan. Sebab itu, seluruh komunitas bangsa mesti terus meningkatkan dan memperluas kerjasama, program dan kegiatan berkaitan dengan upaya mempererat tali solidaritas kebangsaan dengan menggunakan berbagai sarana yang tersedia.