REPUBLIKA.CO.ID, REMBANG - Kebanyakan orang mengenal
Lasem hanya sebagai sebuah kota kecil di lintasan jalan Pantai Utara
Jawa, berada di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dan daerah penghasil
batik tulis khas pesisiran. Sebanyak 47 perajin batik juga menempatkan
Lasem dikenal dari batik tulisnya. Masyarakat Sejarawan Indonesia
Kabupaten Rembang menyatakan bahwa motif dan warna batik tulis Lasem
yang dominan dengan warna merah, sejatinya merupakan pertautan antara
budaya Tionghoa dan Jawa.
"Dari selembar batik Lasem, tersimpan
kisah tentang ada pembauran etnis dan budaya," kata Ketua Masyarakat
Sejarawan Indonesia Kabupaten Rembang, Edy Winarno, Selasa.
Menurut
Edy, batik tulis Lasem ada sejak kedatangan Laksamana Cheng Ho sekitar
tahun 1413. Saat itu, batik tulis Lasem sudah mendapat tempat penting di
sektor perdagangan. Para saudagar mengirim batik Lasem ke berbagai
pulau di Nusantara.
Batik tulis Lasem juga masih berjaya hingga
era 1970-an bersama lima daerah penghasil produk batik lainnya di
Indonesia, yakni Surakarta, Cirebon, Yogyakarta, Pekalongan, dan
Banyumas.
Njoe Tjoen Hian alias Sigit Witjaksono, salah seorang pemerhati sejarah Lasem yang juga perajin batik tulis berasal dari Desa Babagan Kecamatan Lasem menuturkan dulu pemasaran batik Lasem tidak hanya di Jawa, tetapi juga merambah Sumatera, Bali, Sulawesi, Semenanjung Malaka (Pulau Penang, Johor dan Singapura, red.), wilayah Asia Timur (terutama Jepang), bahkan Suriname.
Njoe Tjoen Hian alias Sigit Witjaksono, salah seorang pemerhati sejarah Lasem yang juga perajin batik tulis berasal dari Desa Babagan Kecamatan Lasem menuturkan dulu pemasaran batik Lasem tidak hanya di Jawa, tetapi juga merambah Sumatera, Bali, Sulawesi, Semenanjung Malaka (Pulau Penang, Johor dan Singapura, red.), wilayah Asia Timur (terutama Jepang), bahkan Suriname.
"Suriname termasuk yang terbanyak. Dulu, hampir tiap bulan ayah kami mengirim batik hingga 500 lembar kain," katanya.
Ketua
Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kabupaten Rembang Edy Winarno
menambahkan Lasem bukan sekadar batik. Sebab, ketika terjadi geger China
pada 1740, Lasem menjadi titik pusat perlawanan China terhadap Belanda.
"Perlawanan itu dipimpin Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat), Raden Panji Margono dan Tan Kee Wie," katanya.
Lasem juga dikenal sebagai titik penyelundupan senjata api dari Singapura.
Perpaduan Islam - China
Lasem juga dikenal sebagai titik penyelundupan senjata api dari Singapura.
Perpaduan Islam - China
Menurut
dia, berdasarkan catatan Pramoedya Ananta Toer, senjata dipasok kepada
pelarian wanita bangsawan keraton di Rembang, yang selanjutnya dikirim
ke pasukan Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa I pada tahun
1825-1830.
Tidak hanya itu. Lasem juga menjadi saksi perpaduan
budaya Islam dengan budaya China. "Adalah Bi Nang Un, seorang China
Muslim bermashab Hanafi, utusan Dinasti Ming yang berasal dari wilayah
Yunan yang mengajarkan Islam. Ia kemudian mendirikan perkampungan China
di Lasem. Baru setelah itu, gelombang kedatangan orang China berikutnya
didominasi orang Hokkian yang menganut agama Kong Hu Cu," kata Edy.
Bukti
perpaduan budaya Jawa-Tionghoa, budaya Islam-Tionghoa, dan prasasti
pergerakan melawan penjajah mengupayakan kemerdekaan bisa dirunut dari
kisah perjuangan Raden Ngabehi Widyadiningrat (Oey Ing Kiat), seorang
Adipati Lasem (1727-1743) dan Mayor Lasem (1743-175), Raden Panji
Margono, Putra Tejakusuma V, Adipati Lasem (1714-1727), yang seorang
pribumi dan Tan Kee We, seorang pendekar kungfu dan pengusaha di Lasem.
Pengaruh budaya China pun terasa mendominasi pada banyak segi kehidupan di kota dengan luas 4.504 hektare dan dihuni sekitar 50.000 jiwa itu. Banyak peninggalan bangunan tua yang sudah berusia ratusan tahun. Rumah-rumah tua berarsitektur China, sebagian telah kosong dengan kulit mulai terkelupas dan ditumbuhi lumut hijau.
Pengaruh budaya China pun terasa mendominasi pada banyak segi kehidupan di kota dengan luas 4.504 hektare dan dihuni sekitar 50.000 jiwa itu. Banyak peninggalan bangunan tua yang sudah berusia ratusan tahun. Rumah-rumah tua berarsitektur China, sebagian telah kosong dengan kulit mulai terkelupas dan ditumbuhi lumut hijau.
"Karena sejumlah keunikan
itu, seorang peneliti Eropa menyebut Lasem sebagai 'The Little Beijing
Old Town'. Sementara peneliti Perancis menjuluki Lasem 'Le Petit
Chinois', keduanya bermakna China Kecil," katanya.
Pengasuh Pondok
Pesantren Kauman Lasem KH Zaim Ahmad Ma'shoem (Gus Zaim) menyebutkan,
pembauran etnis di Lasem telah menelurkan proses asimiliasi dan
akulturasi budaya yang saling memengaruhi. Ia mencontohkan, rumah warga
China di Lasem tak murni berarsitektur China.
"Tingginya nilai toleransi antar warga ini lah yang kemudian menjadikan kehidupan antar beragama menjadi berkembang," katanya.
Kepala
Seksi Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid
pada Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Rembang Hj Ruchbah menyebutkan,
meski warga Lasem memiliki cukup banyak etnis Tionghoa, jumlah pondok
pesantren di wilayah itu justru terus bertambah.
Ia menyebutkan
hingga 2011, tercatat ada sebanyak 23 pondok pesantren yang menampung
ribuan santri lokal, luar Rembang bahkan luar Pulau Jawa.
"Bagi
pendatang yang baru kali pertama berkunjung ke Lasem, dimungkinkan akan
sulit membedakan mana warga keturunan Tionghoa dan pribumi. Sebab, semua
sudah membaur," katanya.