Zhuang Wubin Pemerhati Tionghoa Muslim

Minat awal Zhuang Wubin mengenai Komunitas Cina Muslim di Indonesia berasal dari ketertarikannya terhadap masyarakat keturunan Cina di Asia Tenggara. Sebagai keturunan Hokkian generasi ketiga yang lahir di Singapura, Wubin menjadi salah satu anggota komunitas yang beragam ini. Meski awalnya tak terbayangkan oleh Cina non-Muslim di Indonesia atau Asia Tenggara bahwa nenek moyang mereka akan memeluk agama Islam, sejarah melukiskan hal yang berbeda. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa kehidupan para imigran Cina di Asia Tenggara berada dalam situasi yang di luar kendali mereka.

Seiring berjalannya proyek penyusunan buku ini, Leo Suryadinata, seorang pakar studi Tionghoa dari National University of Singapore, kemudian menunjukkan adanya kemungkinan bahwa Cina Muslim sebetulnya telah aktif di Indonesia, bahkan mungkin sebelum kedatangan Laksamana Zheng He (Cheng Ho) di awal abad ke 15. Berkaitan dengan sejarah invasi Belanda ke Indonesia, terjadinya pembantaian massal warga ketururunan Cina di Jakarta pada tahun 1974 mempercepat akselerasi perpindahan agama bagi para keturunan Cina menjadi Muslim. Salah satu bagian dalam buku ini adalah hasil penelitian sang penulis untuk melacak dan mengambil foto dari penduduk Muslim yang bersedia mengakui adanya darah keturunan Cina dalam diri mereka. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan sejarah panjang dari asimilasi antara keturunan Cina dengan masyarakat “pribumi”. Contoh yang paling dikenal adalah mantan presiden Indonesia Abdurrahman Wahid yang mengakui dirinya sebagai keturunan Tan Kim Han, seorang Cina Muslim yang juga merupakan duta besar Negara Cina pada masa kerajaan Majapahit. Naiknya beliau sebagai presiden Indonesia di tahun 1998 tidak hanya berdampak pada kebebasan demokrasi dan pers, tapi juga direvitalisasinya kehidupan komunitas Cina Muslim di Indonesia.

Zhuang Wubin melalui bukunya mendokumentasikan fragmen-fragmen kehidupan komunitas Cina Muslim di Indonesia melalui fotografi. Selain itu terdapat pemaparan sejarah panjang komunitas Cina Muslim di Indonesia terkait pada awal kemunculan, penyesuaian-penyesuaian terhadap rezim kekuasaan dan pengaruh mereka bagi sejarah kultural bangsa Indonesia. Selain Zhuang Wubin, terdapat esai-esai dari penulis kontributor lain yang dalam buku ini yakni Charles Coppel, Enin Supriyanto dan Yenny Wahid.
Pustaka Selasar bekerja sama dengan Fotolisis dan Puslit FSRD UK Maranatha, menyelenggarakan Afternoon Tea #9 (Special) Bincang Buku “Chinese Muslims in Indonesia” sebagai salah satu bentuk kegiatan untuk memperkenalkan Pustaka Selasar sebagai perpustakaan publik. Sang penulis buku, Zhuang Wubin akan mempresentasikan dan membahas bukunya dalam kegiatan ini.

Tentang Afternoon Tea:
Sejak diresmikan pada tahun 2008 Pustaka Selasar menjalankan fungsinya sebagai tempat penyimpanan arsip program SSAS. Dengan jumlah koleksi lebih dari 3000 buku dengan kategori seni rupa, desain, arsitektur, fotografi dan sastra, Pustaka Selasar menyelenggarakan diskusi ini untuk memperkenalkan koleksinya kepada publik. Pada awal penyelenggaraannya Pustaka Selasar bekerjasama dengan Fotolisis, sebuah organizer penyelenggara seminar, pameran dan workshop untuk fotografi yang berbasis di Bandung. Dalam perjalanannya, Fotolisis berkehendak menggagas fotografi sebagai pengetahuan yang dapat memperkaya budaya visual fotografi di Indonesia.

Tentang Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Seni Rupa dan Desain (Puslit FSRD) UK Maranatha:
Puslit FSRD UK Maranatha didirikan sejak tahun 2009. Salah satu lembaga dibawah Puslit FSRD UK Maranatha adalah Centre of Chinese Diaspora Art and Design Studies (CCDACS) yang mengkhususkan diri pada studi budaya Tionghoa yang tersebar di Nusantara dan sekitarnya. Puslit FSRD juga membentuk kegiatan non-profit, yakni Forum Studi Budaya di UK Maranatha dan melibatkan banyak pakar di bidang budaya untuk membangun iklim akademis kondusif agar kemudian mendorong aktivitas penelitian dan pengabdian masyarakat.

Tentang Zhuang Wubin:
Zhuang Wubin (1978; Singapura) menggunakan fotografi untuk memahami kebudayaan dan sejarah komunitas Cina di Asia Tenggara. Ia juga seorang peneliti yang berfokus pada praktik-praktik fotografi kontemporer di Asia Tenggara.