Perjalanan Tionghoa Muslim di Sulawesi Selatan

MENDENGAR sebutan Cina Muslim atau Tionghoa Muslim bagi sebagian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di Sulawesi Selatan, masih asing, lantaran mayoritas warga ini dikenal sebagai sub etnis yang menganut kepercayaan non-Islam. Meskipun di Makassar masyarakat Tionghoa Muslim sudah cukup banyak, baik dari keturunan Tionghoa totok maupun peranakan.



Berbeda di negara asal mereka, Cina, agama Islam telah dikenal sejak abad ketujuh pada masa kekuasan Dinasti Tang, ketika seorang duta Khalifah III Usman bin Affan, Saad Ibnu Abi Wakkas, yang masih kerabat Nabi Muhammad saw berkunjung ke Cina. Sa'ad diterima oleh Kaisar Cina tanggal 25 Agustus 650 M bertepatan, 2 Muharram 31 H. Utusan tersebut memperkenalkan kepada Kaisar tentang negeri Arab dan agama Islam yang dianut oleh penduduknya. Saat itulah dicatat sebagai awal kelahiran Islam di Cina.


Masa itu kerajaan Cina dipimpin Yung-Wei yang memberi kebebasan kepada masyarakatnya memeluk agama sehingga pengajaran tentang Islam berlangsung bersama pengajaran Konfucius dan dibangun Masjid Ch'ang-an, sebagai masjid pertama.

Penyebaran agama Islam di Cina berkembang sejalan dengan arus perdagangan Cina- Arab. Banyak pedagang Arab beragama Islam datang ke Cina, baik secara berkelompok maupun perorangan. Ada yang menikah di sana dan anak keturunannya memeluk agama Islam turun temurun. Di Cina berkembang industri sutra dan porselin. Di pihak lain mereka butuh wangi-wangian, manik-manik, dan batu permata dari Arab. Sehingga jalur perdagangan ini dikenal dengan nama Jalur Sutra (Silk Road).
Zaman keemasan Islam di Tiongkok tercapai permulaan pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644). Pada masa itu Islam maju pesat setelah dianut selama 700 tahun. Islam yang mulanya dianggap sebagai suatu kepercayaan asing di Cina sudah diterima sepenuhnya dalam masyarakat.Penganut agama Islam berbaur dengan masyarakat Cina dan menyesuaikan nama mereka dengan nama Islam. Nama nama keluarga Mo, Mai, dan Mu, diganti menjadi Muhammad, Mustafa, dan Masoud. Hu diganti jadi Husen, atau Sai menjadi Said.

Saat Dinasti Ching (1644-1911 M) berkuasa, terjadi perubahan keadaan di Cina, khususnya terhadap penganut agama Islam, orang-orang Han, Tibet, dan Mongol. Kerajaan menerapkan pembagian wilayah yang ketat terhadap kelompok tersebut sehingga mereka saling menaklukkan dan mempertahankan wilayah masing-masing dan mendorong perasaan anti-Muslim dalam masyarakat.
Ketika Dinasti Manchu berkuasa (1911), Sun Yat Sen menjadikan Cina sebagai negara republik. Dia mengumumkan bahwa Cina terdiri atas masyarakat Han, Hui (Muslim), Man (Manchu), Meng (Mongol), dan Tsang (Tibet).

Setelah Mao Zadong melakukan revolusi tahun 1948 untuk mendirikan negara komunis, kaum Muslimin berjuang untuk memperoleh daerah agar mereka dapat mayoritas dan secara aktif berjuang melawan tekanan komunis. Hingga tahun 1953 kaum Muslimin telah dua kali memberontak untuk mendapatkan daerah yang dituntutnya, namun tentara komunis Cina memberantas secara brutal disertai propaganda anti-Muslim. Revolusi Kebudayaan yang diumumkan pemerintahan Mao Zedong menjadi teror bagi umat Islam ketika itu. Revolusi itu bermaksud membumihanguskan segala bentuk kebudayaan non-Cina, termasuk Islam. Sekitar 30 ribu orang Islam dijadikan tenaga kerja paksa, imam-imam dan pemimpin agama disiksa dan dihinakan di kandang-kandang babi, sekitar 29 ribu masjid ditutup, siswa sekolah Islam dipindahkan ke sekolah yang hanya mengajarkan tentang Marxisme dan Maoisme.Setelah kematian Mao Zadong, kekuasaan pemerintahan komunis meredup. Cina menjadi negara liberal sehingga Islam kembali tumbuh dan berkembang subur.

Dewasa ini, masyarakat Muslim di Cina sekitar 20 juta jiwa yang tersebar di 10 suku bangsa. Penganut terbesar adalah orang Hui yang lebih separuh dari jumlah tersebut tersebar di sepanjang negeri Cina. Konsentrasi orang Hui dapat ditemukan di Provinsi Ningsia bagian utara. Agama Islam juga dianut suku bangsa pengguna bahasa Turki atau ras Turki yang meliputi orang-orang Uygur, Urbek, Kazakh, Kirgiz, Tatar, Tajik, Sala, Padan, dan Dongxiang. Hampir semua penduduk Muslim dapat ditemukan di bagian barat Kansu dan Xinjiang. Penduduk Uygur di Provinsi Xinjiang adalah populasi Muslim terbesar, mencapai 60 persen dari jumlah penduduknya.

Muslim Pengelana

Membahas perkembangan agama Islam di Cina, khususnya yang berhubungan dengan Indonesia, harus dibuka kembali catatan penting pelayaran Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming. Dia mengarungi lautan mengunjungi beberapa negara di Asia Tenggara, Samudra Hindia, Laut Merah, Afrika Timur. Cheng Ho yang selama 28 tahun (1405-1433) memimpin sekitar 27 ribu kapal mengarungi lautan mengunjungi tempat tersebut termasuk Nusantara dalam tujuh kali pelayaran. Cheng Ho yang dikenal sebagai Kasim San Bao adalah seorang Muslim yang taat dari bangsa Hui di Provinsi Yunnan, yang tidak terlepas dari latar belakang kekuasaan Dinasti Ming dan perkembangan agama Islam ketika itu.

Pelayaran Cheng Ho ke Samudra Barat (Hindia) sebagai utusan Dinasti Ming tidak membawa misi agama tetapi untuk tujuan politik, antara lain; menjalin kerukunan dan persahabatan dengan negara-negara asing, karena Kaisar Ming beranggapan bahwa Rakyat di seluruh dunia adalah sekeluarga.
Mengunjungi masyarakat Cina yang merantau karena kemiskinan di negaranya dan berpesan kepada mereka agar menjadi penduduk yang baik di negara tempat menetap, serta mendorong perniagaan antara Cina dengan negara-negara asing.

Misi Cheng Ho juga mencari jejak Kaisar Jian Wen (Zhu Yunwen) yang berkuasa sebelumnya karena konon kaisar tersebut melarikan diri keluar negeri setelah digulingkan. Karena Cheng Ho merupakan pemimpin beragama Islam dan sangat menghargai agama lain, ia diutus mengunjungi daerah-daerah yang telah memeluk agama Islam dan nagara/kerajaan yang menganut agama Budha seperti Thailand dan Siam. Sehingga Cheng Ho dalam pelayarannya mendapat sambutan hangat dari pemerintah kerajaan/negara yang dikunjunginya.

Tionghoa Indonesia di Sulawesi Selatan

Kebanyakan masyarakat Tionghoa Muslim di Indonesia adalah muallaf. Sebelum memeluk agama Islam mereka menganut agama lain seperti Konghucu, Budha, ataupun Kristen. Mereka memeluk Islam setelah melalui proses pembelajaran terhadap sendi-sendi agama Islam sehingga mereka memutuskan berganti agama menjadi seorang Muslim. Sebagian menjadi Islam melalui pintu perkawinan.

Muslim Tionghoa yang peranakan biasanya memeluk agama Islam sejak nenek moyang mereka yang lebih dulu melakukan perkawinan dengan orang setempat yang beragama Islam sehingga anak cucu mereka tetap memeluk agama leluhurnya secara turun temurun dan menjalankan ajaran Islam secara konsisten.
Masyarakat Muslim Tionghoa di Makassar diperkirakan berjumlah 1.000 orang (yang terdata oleh PITI Sulsel) namun masih terdapat sejumlah warga Tionghoa Muslim yang tidak tercatat dalam PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia).Mereka bersesuai dengan masyarakat Muslim lainnya dan menjalankan ibadah sesuai ajaran Islam. Mereka melakukan pengajian untuk menggali ajaran Islam dan memurnikan keyakinannya dalam berbagai kesempatan.

Beberapa di antara mereka sangat memahami ajaran Islam dibanding orang setempat yang sudah lama memeluk Islam tetapi tidak mempelajari lebih dalam. Merekapun banyak memakai nama-nama Islam yang disesuaikan dengan nama-nama Tionghoa yang memiliki nama keluarga (she). Misalnya dari marga Go menjadi Gosali, Yu menjadi Yunu.


Oleh
Shaifuddin Bahrum
Peneliti Budaya Tionghoa, Mahasiswa Pascasarjana Unhas