Terjebak Lingkungan Atheis, Muslim China Tetap Tegakkan Islam

BEIJING, China (Berita SuaraMedia) – Tinggal di sebuah negara atheis di mana praktik keagamaan sangat kecil, Muslim di China menentang pembatasan untuk berpegang teguh pada keyakinan mereka.

"Keduanya, saya dan istri saya dari suku Hui China, dan kami telah menjadi Muslim dari dulu seperti halnya nenek moyang kami," Shan Chongshan mengatakan kepada kantor berita harian Malaysia, The Star.
Setiap hari, Shan pergi ke Masjid di Niujie di Beijing untuk melakukan sholatnya sehari-hari. Ia juga bertemu dengan teman-temannya selama perayaan-perayaan Muslim seperti Idul Fitri dan Idul Adha. "Kami memastikan anak-anak kami melaksanakan agama ini dan membantu mereka membesarkan dua cucu perempuan kami dengan cara Muslim," kata Shan. "Hal tersebut sangat penting di dalam keluarga kami.", Shan dan istrinya berasal dari suku Hui, salah satu dari 10 etnisitas Muslim di China.
Ada lebih dari sembilan juta Muslim Hui di negara tersebut. Kelompok etnis lainnya adalah Uighur, Kazakstan, Dingxiang, Kyrgistan, Salar, Tajikistan, Uzbekistan, Bonan dan Tatarstan.

Islam adalah agama terbesar kedua di China, memiliki sebuah sejarah yang panjang di negara bagian barat Asia tersebut. Para sejarawan percaya bahwa agama tersebut disebarkan di China oleh diplomat Muslim dan pedagang antara 630 dan 751 selama Dinasti Tang. Menurut data resmi, China memiliki 20 juta Muslim, sebagian besar dari mereka terkonsentrasi di kawasan dan provinsi Xinjiang, Ningxia, Gansu, dan Qinghai.
Komunitas Muslim yang lebih kecil bisa ditemukan di seluruh pedalaman China. Secara tidak resmi, kelompok Muslim mengatakan bahwa jumlah tersebut bahkan lebih besar, menyebutkan bahwa ada sekitar 65-100 juta Muslim di China – mencapai 7,5 persen dari populasi.

Atheis China mengakui lima agama – Islam, Protestan, Katolik, Taoisme, dan Budhaisme. Meskipun terdapat perbedaan etnisitas, Muslim China berkumpul bersama selama bulan puasa Ramadhan dan perayaan Eid. "Selama Tahun Baru China, ada banyak pameran kuil di China yang para pengunjung bisa tunggu, namun perayaan tersebut lebih seperti sebuah peryaan kebudayaan," Han Yaohua, seorang sarjana Muslim, mengatakan. "Bagi saya, Idul Fitri lebih signifikan. Ini hanyalah festival etnis saya.", Selama Ramadhan, Muslim China juga membawa makanan masakan rumah ke Masjid untuk berbuka puasa dengan para jamaah Muslim lainnya. Shan, Muslim Hui, bercita-cita pergi ke tanah suci Mekkah di Arab Saudi untuk melaksanakan haji. "Selama saya bercita-cita pergi haji di Mekkah dengan istri saya, namun biayanya terlalu tinggi," ia mengatakan., "Namun saya benar-benar berharap bahwa saya dapat menjalankan Haji setidaknya satu kali seumur hidup saya."

Hampir sekitar 13.000 Muslim China berangkat Haji tahun lalu. Hanya baru-baru ini Muslim China telah dapat berangkat Haji dalam jumlah yang besar. Asosiasi Islam China mengatakan bahwa peningkatan tahunan jamaah Haji China menunjukkan bahwa Muslim China memegang teguh keyakinannya. "Ada lebih dari 40.000 imam tersertifikasi yang menjalankan tugas mereka di lebih dari 30.000 Masjid di China," wakil presiden asosiasi tersebut, Ma Zhongjie, mengatakan. "Sebagian besar dari mereka menerima pendidikan Islam dari Institut Islam China yang dijalankan oleh asosiasi tersebut. Namun bagaimanapun juga, banyak Muslim menghadapi hlangan dalam mewariskan ibadah keagmaan mereka kepada generasi yang lebih muda.
"Pada dasarnya, sekitar 40 persen sampai 50 persen siswa Muslim tidak akan berpuasa," Muhammad Hasan, seorang mahasiswa sarjana, mengatakan. Muslim mengeluhkan bahwa sistem pendidikan, yang dipisahkan dari ajarang agama, menghalangi mereka membantu Muslim muda untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam. Hasan setuju dengan hal tersebut. Ia mengatakan bahwa ia sering melewatkan puasa Ramadhan karena atmosfir di universitas ini tidak kondusif untuk Muslim melakukannya. "Namun di rumah, saya pastinya tidak akan melewatkan bulan puasa dan akan berpuasa berasama dengan orang tua saya, kakek dan nenek dan semua orang di dalam kelaurga saya," kata China hui 24 tahun dari Ningxia tersebut. "Apa yang kita dapat lakukan saat terjauh dari rumah adalah memperkuat agama kita dengan memperdalam pengetahuan keagamaan kita, mempelajari Al-Qur'an dan mengambil pelajaran keagamaan di Masjid."

Ma, wakil presiden Asosiasi Islam menyalahkan kurangnya pendidikan Islam dari orang tua karena gagal mewariskan ajaran-ajaran Islam kepada generasi yang lebih muda. Tidak ada kelas keagamaan di sekolah, dan kluarga sering tidak mengikuti, sehingga anak-anak secara bertahap kehilangan sentuhan dengan agama mereka, Ma mengatakan. Untuk membantu Muslim muda mempertahanakan keayakinan mereka, Ma mengatakan bahwa asosiasinya bekerja untuk mendidik Muslim muda tentang agama mereka. Asosiasi tersebut juga bekerja untuk mendorong etnis Muslim dan non-Muslim di negara tersebut. "Dengan melakukan demikian, generasi yang lebih muda akan menjadi orang-orang yang baik yang dapat berkontribusi pada perkembangan negara.