Kisah Lestari Budaya Keturunan Tionghoa



TionghoaMuslim - Pada awalnya mayoritas masyarakat tionghoa di nusantara banyak beragama Islam Hanafiah sesuai catatan Ying Yai Sheng Lang oleh Ma Huan, dalam perkembangan islam di nusantara, banyak orang-orang tionghoa yang ikut andil besar dalam perkembangannya sehingga terjadilah asimilasi budaya Islam Tionghoa dan budaya Nusantara.

Meski secara stereotip lebih dikenal sebagai “pedagang”, warga keturunan Tionghoa di penjuru Nusantara juga dikenal dengan akar budaya, tradisi serta citarasa seni yang kuat.

Sebagai produk asimilasi, akulturasi dan proses hibrida yang berlangsung alami selama berabad-abad, budaya keturunan/peranakan Tionghoa di Indonesia lahir sebagai hasil silang pengaruh antara budaya yang dibawa dari tanah leluhurnya di Negeri Tiongkok, budaya asli pribumi, serta tak lepas dari pengaruh budaya Eropa yang dibawa oleh Belanda sebagai penguasa saat itu.



Awalnya, pengaruh terbesar budaya Peranakan ini muncul adalah dalam hal bahasa dan kuliner sebagai produk budaya sehari-hari. Belakangan, pengaruh ini meluas dan menjangkau beragam aspek kehidupan, seperti adat istiadat, kesenian, arsitektur, kerajinan, pengobatan, dan masih banyak lagi.

Munculnya seni ukir di jawa tidak lepas dari peranan orang-orang tionghoa yang ikut dalam menyebarkan asimilasi budaya dan keahlian pd masayarakat Nusantara, seperti Cie Gwe Gwan dan The Ling Sing merupakan pemahat ulung dan dikenal sebagai bapak pelopor seni ukir jawa di Jepara dan kudus.

Begitu juga motif batik Nusantara misalnya, berkembang seiring tumbuhnya akulturasi etnis yang ada di sekelilingnya, menjadi wujud interaksi sosial warga pribumi dengan para pendatang, termasuk pendatang Tionghoa. Karenanya, mudahlah dipahami jika perkembangan motif batik di luar tembok keraton bermula dari kota-kota pesisir utara Jawa, seperti Indramayu, Cirebon, pekalongan, Lasem hingga Tuban. Disanalah motif batik bernuansa Tionghoa dengan mudah dijumpai. Koleksi dan refleksi perkembangan batik Tionghoa di Nusantara ini tersimpan rapi dan dapat disaksikan di Museum Batik Danar Hadi di Surakarta.

Kaum keturunan/peranakan juga menyentuh sudut-sudut ruang seni dengan bentuk ekspresi budayanya yang bercorak khas. Dunia seni rupa Indonesia mencatat dengan baik nama Lee Man Fong, yang bersama Lim Wasim, asistennya, pernah dipercaya oleh Presiden RI pertama Ir. Soekarno sebagai pelukis istana. Di tahun 2010 lalu, balai lelang Sotheby Hong Kong berhasil melelang salah satu karyanya berjudul “Bali Life” dengan harga fantastis, sehingga menempatkannya sebagai pelukis dengan karya termahal di Asia Tenggara.

Sebut pula nama Sidik W. Martowijdjojo atau Ma Yong Qiang, pelukis yang berhasil meraih penghargaan tertinggi dalam kompetisi seni lukis dan kaligrafi tingkat dunia di Beijing (2001) dan Nanjing (2002), hingga menobatkannya sebagai satu dari 10 budayawan yang dianggap berhasil melakukan pembaharuan dalam seni budaya di China (2006).

Di wilayah seni pertunjukan, sentuhan budaya peranakan pun menunjukkan jejaknya. Agama Islam China Hanafi  dan Kong Hu Cu/Konfiusme sebagai agama atau keyakinan yang dianut warga peranakan Tionghoa pada awalnya memang memiliki aspek ritual yang akrab dengan bermacam bentuk perayaan dan pertunjukan. Yang menarik, semuanya itu hadir melalui persinggungan intensif dengan tradisi lokal.

Pada tahun 1895, Gam Kam, seorang warga Tionghoa, merintis pertunjukan wayang orang keliling yang  berlanjut populer hingga tahun 1960-an. Model pertunjukan ini dipandang sebagai babak baru seni pertunjukan di Indonesia, yang tak hanya membawanya dari balik tembok keraton menuju pesta-pesta rakyat, namun juga memindahkan dari gaya pementasan ala pendopo menjadi realitas panggung modern dalam ukuran jamannya. Sementara di pertengahan paruh awal abad ke-20, rombongan drama keliling dengan naskah drama orisinal juga mulai dipelopori oleh Njoo Cheong Seng, seorang tokoh yang belakangan disebut sebagai salah seorang perintis awal teater modern dan perfilman di Indonesia.

Warga peranakan Tionghoa tak hanya piawai ‘menjual’, namun juga memainkannya sendiri, bahkan menciptakan bentuk-bentuk baru yang digubah dari tradisi lokal. sebut saja kemunculan Wayang Thithi atau wayang kulit Cina-Jawa di tahun 1920-an dan pernah berjaya sekitar tahun 1925 hingga tahun 1967.Kesenian yang lahir di yogyakarta ini dikembangkan oleh Gan Thwan Sing, warga peranakan kelahiran Klaten tahun 1885. Lakon Wayang Thithi ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa, ditampilkan dengan bahasa dan karawitan Jawa, namun menampilkan mitos dan legenda dari Negeri Tiongkok. Pagelaran wayang ini biasa dilakukan di kelenteng-kelenteng sebagai pelengkap ritual persembahan bagi para dewa atau menjadi hiburan yang diundang khusus dalam acara-acara keluarga. Kini, Wayang Thithi hanya tersisa dua set asli di seluruh dunia. Satu set tersimpan di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, dan satu lagi menjadi koleksi Dr. Walter Angst yang bertempat tinggal di Jerman.

Hampir semua kegiatan seni budaya bernuansa peranakan surut dengan drastis hingga kemudian dibekukan dan mati suri selama masa pemerintahan Orde Baru, dan baru menyeruak kembali di tahun 2000, saat Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina yang telah membatasi hampir semua bentuk ekspresi seni budaya bernuansa peranakan Tionghoa selama lebih dari 30 tahun lamanya.

Wayang potehi adalah satu dari sekian banyak ikon budaya Tionghoa yang ikut menyertai mengeliatnya kembali ekspresi budaya kaum peranakan di Indonesia, meski belum sepopuler samsi (barongsai), liong (naga) atau seni bela diri wushu yang semakin marak dan menjangkau khalayak yang semakin luas. Yang berbeda dengan era sebelumnya, satu-satunya jenis wayang Nusantara yang berbahasa Indonesia ini, belakangan justru banyak dimainkan oleh orang-orang Jawa, baik para sehu atau dalangnya, maupun para pemain musiknya. Dalam kacamata akulturasi dan toleransi akan keberagaman, hal ini tentu menjadi sesuatu yang membanggakan.

Sepanjang sejarahnya, Nusantara memang telah menjadi titik temu beragam unsur budaya yang kemudian saling mempengaruhi dan melahirkan bentuk-bentuk tradisi baru. Keanekaragaman ini menjadi kekayaan yang harus dijaga agar tetap lestari dalam kehidupan bersama yang penuh harmoni.
Selanjutnya....

Napak Tilas Jejak Peradaban Hoakiao Pada Abad 2 SM di Lasem



Napak Tilas Jejak Peradaban Hoakiao Pada Abad 2 SM di Lasem



Wilayah Lasem - Rembang adalah tempat yang kaya akan sejarah dan warisan budaya lampau. Pojok-pojoknya menawarkan cerita yang tak pernah sama. Dan malam itu kami bertemu si pencerita.

Slamet Haryono namanya. Seorang teman lama, alumni Satya Wacana, Salatiga. Ia seorang sarjana biologi, namun memilih bekerja di bidang sosial-budaya bersama sebuah institut pluralisme yang tak ingin terkenal namanya. Sudah sekitar setahun ia berada di Lasem-Rembang untuk revitalisasi batik Lasem yang memudar; dan tampaknya, itu bukanlah yang satu-satunya.
Slamet bukan orang Jawa yang diam. Ia penasaran. Kadang sifat itu membuatnya menjengkelkan, namun kadang itu membawanya kepada sebuah pemahaman atau, paling tidak, pengetahuan. Saya masih ingat status Yahoo! Messenger-nya ketika awal-awal ia di Rembang. Slamet bertanya: siapakah Semar?
Entah kenapa ia bertanya seperti itu. Yang jelas, dalam pertemuan-pertemuan kami selanjutnya di Salatiga, Slamet lebih banyak bicara soal sejarah ketimbang perbatikan. Ia membagi hasil-hasil pembicaraannya dengan beberapa spiritualis-cum-sejarawan lokal. Ia bercerita tentang kunjungannya ke situs-situs “bukan mainstream” di Rembang. Suatu kali ia membawa sebuah babad ke tempat saya, dan mengijinkan saya memfotokopinya. Dengan paparan sejarah politik kuno yang rumit dan sedikit permainan silsilah (dan entah apalagi, saya lupa), Slamet berhipotesis bahwa penulis babad itu sendiri adalah murid Semar yang samar.
Situs-situs yang “bukan mainstream” bagi Slamet di Rembang adalah tempat-tempat selain seperti museum Kartini dan pasujudan Sunan Bonang. Mungkin ini terkait dengan minat sejarah Jawa-nya yang lebih condong ke masa pra-Islam dan, lebih ke belakang lagi, masa pra-Hindu-Buddha; masa dimana, konon, identitas ke-Jawa-an belum tersentuh ekspansi budaya luar. Itulah sebabnya, pada esok harinya Slamet tak membawa saya dan James Anthony ke dua tempat tersebut.
Mula-mula ia membawa kami ke dusun binaan lembaganya untuk melihat proses pembuatan batik. Hari itu hari Sabtu. James ingin mengambil foto anak-anak kecil yang sedang menulisi kain dengan canting. Saya ingin makan mangga, karena waktu itu memang sedang musimnya. “Di sini kalian bisa makan mangga sampe bodok,” kata Slamet.
Agak aneh rasanya mendengar bahwa anak-anak kecil itu harus membatik di sela kesibukan belajar sekolah. Entahlah, saya kira untuk konteks Rembang, belajar membatik itu jauh lebih relevan dan berguna ketimbang menghapal teori-teori pelajaran yang disyaratkan kurikulum nasional.
Rasanya setiap kali kita bicara tentang sesuatu yang nasional, di situ kita sedang mengabaikan yang lokal. Padahal apa yang nasional adanya cuma di imajinasi kita, dan bukan sesuatu yang riil. Nasionalisme adalah konsep hasil rekayasa kesadaran kita saja, bukan? Pelajar-pelajar kita berhasil mencapai standar nasional, namun melempem untuk berolahdaya di tingkat lokal. Kalau kita sepakat bahwa batik adalah produk budaya lokal yang potensial, lantas mengapa generasi kita yang berpendidikan nasional hanya mampu membuatnya pudar dan nyaris hilang sekarang? Itu artinya kurikulum nasional yang jendral tidak klop dengan kearifan lokal yang kontekstual.
Memang, belakangan saya dengar bahwa sekolah-sekolah di Rembang sudah mulai mengadopsi kegiatan membatik sebagai “muatan lokal”. Tetapi bagaimana kalau sekarang porsinya dibalik? Bikinlah membatik sebagai muatan kurikulum utama, dan matapelajaran lain sebagai, katakanlah, “muatan nasional”. Apakah ini bisa membantu upaya revitalisasi batik yang tengah digalakkan?
Saya tidak tahu. Sebelum pertanyaan itu terjawab, mangga di tangan saya telah habis. Dan saya malas melanjutkan berpikir. Buat apa pusing-pusing?
Dari dusun itu, kami melanjutkan perjalanan ke daerah Babagan di kecamatan Lasem. Kami mampir sebentar di kedai kopi lelet depan klenteng Gie Yong Bio. “Lelet” adalah kata Jawa untuk “oles”. Di kedai ini kami mendapati beberapa orang tengah sibuk mengolesi batang rokok dengan ampas kopi kental. Aktivitas ini dianggap sebagai “membatik rokok”. Ternyata, di Rembang tak hanya kain saja yang dibatik. Konon rokok yang sudah dibatik akan terasa lebih mantap. James dan Slamet menikmati kopi dan rokok. Rembang terik sekali. Saya cukup air bening. Glek! Ahh ….

Pluralisme

Saya baru tahu kalau klenteng yang kami datangi siang itu adalah tempat pemujaan kimsin (patung dewa) dua orang Hoakiao dan satu orang Jawa: Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat, dan Raden Panji Margono. Yang disebut terakhir itu konon adalah seorang Jawa yang sudah masuk Islam. Hoakiao adalah istilah untuk menyebut orang-orang Cina perantauan (overseas Chinese).
Jadi ceritanya, pada tahun 1740-an pecah konflik antara VOC di Rembang dengan masyarakat Lasem. Monopoli pasar VOC yang ambisius konon jadi pemicunya. Maka pecahlah perang. Tiga tokoh tadi memimpin rakyat Lasem enyahkan kongsi dagang Belanda itu dari Rembang. Dan mereka berhasil.
Namun itu adalah sebuah kemenangan yang berbatas. Tatkala orang-orang Lasem mengejar Belanda hingga ke Juwana dan Jepara, mereka terpukul balik. Di sana Tan Kee Wie gugur, dan kedua sahabatnya mundur ke Lasem. Setelah berperang gerilya selama beberapa waktu, Oei Ing Kiat dan Panji Margono akhirnya terkepung juga oleh Belanda, dan gugur. Klenteng Gie Yong Bio didirikan pada tahun 1780 untuk menghormati kepahlawanan tiga serangkai itu.
Kini kita akan temukan kimsin Tan Kee Wie bersanding dengan kimsin Oei Ing Kiat di altar utama Gie Yong Bio. Sedangkan kimsin Panji Margono terpisah ruang, di sebuah kamar kecil tersendiri. Ia mengenakan beskap, jarik, dan blangkon. Sebuah miniatur joglo jadi tancapan singgasananya. Meski di kanan-kiri terdapat barang-barang yang tak lagi terpakai — hingga kamar itu terlihat agak seperti gudang — namun kondisinya dijaga tetap bersih dan rapi. Dan kimsin Panji Margono tetap disembahyangi.
Inikah wujud pertemuan mesra budaya Tionghoa dan Jawa? Saya masih tak habis pikir kenapa orang-orang Hoakiao Lasem mau “repot-repot” menyembah kimsin Panji Margono yang seorang Jawa dan konon telah masuk Islam pula. Agaknya mereka memaklumi bahwa jalan panjang pluralisme nan damai dapat diretas dengan langkah kecil saling menghormati. Dan mereka, pada kenyataannya, telah melakukan lebih.

Penawar


Siang itu Sigit Witjaksono (Njo Tjoen Hian) menyematkan nama Ying Hsiung kepada saya. Artinya, satria yang mulia. “Semoga namanya cocok sama orangnya,” kata Sigit. Amin.
Sigit sudah berumur 80 tahun. Orangnya grapyak dan semanak. Bersemangat, dan masih sempat terlibat pembuatan filem Ca Bau Kan. Pada 2008, harian Kompas meliputnya sebagai “Hoakiao dari Lasem”. Ia adalah pemilik perusahaan batik tulis Sekar Kencana, yang letaknya hanya satu lemparan batu dari klenteng Gie Yong Bio. Konon ia punya 30 kemeja batik yang berbeda, yang dirancangnya sendiri, untuk dipakai bergantian setiap hari selama satu bulan. Satu ciri khas batik rancangan Sigit yang saya lihat adalah munculnya aksara-aksara Mandarin di antara semburat motif batiknya. Huruf-huruf itu, tentu saja, punya makna — yang saya sudah lupa penjelasannya.
Sigit memperbolehkan kami melihat-lihat dapur batiknya. Ini adalah bagian dari kompleks rumahnya yang lumayan luas, yang dikitari pagar tembok tinggi tebal bak benteng. Ada gledegan untuk mewarnai kain. Ada tungku untuk peluruhan malam. Ada cekungan pembilas kain. Ada lapangan kecil untuk menjemur. Di tengah-tengah semua itu, ada tempat dimana beberapa perempuan paruh baya duduk melingkar saling membelakangi. Mereka mengelilingi wajan berisi malam yang mendidih di atas kompor yang menyala. Satu tangan memegang kain, satunya lagi canting. Mereka sedang membatik.
“Batik” adalah akronim dari dua kata Jawa, yakni “amba” (menulis) dan “titik” (titik). Semula saya kira membatik adalah mewarnai kain dengan malam cair. Slamet bilang bukan. Membatik adalah menghalangi area tertentu kain dengan malam, agar tak ikut terwarnai dalam proses pewarnaan. Karena itu, pembuatan motif batik dengan beberapa warna saja bisa jadi cukup panjang prosesnya — dan rumit. Saya jadi ingat kata-kata seorang seniman pencipta wayang ukur, almarhum Ki Sigit Sukasman: seni kuwi disipline ora umum.
Tetapi, apakah sebenarnya seni itu?
Saya tidak tahu. Rasanya dikotomi paling sederhana — walau mungkin belum tentu pas — adalah antara seni dan sains. Apa yang seni adalah apa yang bukan sains. Dan sebaliknya. Kalau kita terbiasa mendefinisikan sains sebagai kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis bin metodologis, maka bolehlah sekarang kita definisikan seni sebagai kumpulan pengetahuan yang terdapat secara asistematis dan tanpa metode baku.
Lepas dari sistematisasi dan pembakuan. Bisakah kita sebut itu sebagai “kebebasan”? Kalau kita sepakat bahwa batik adalah sebuah karya seni, apakah ia dapat dilepaskan dari sistematisasi dan pembakuan proses pembuatan? Ah, saya pusing sekarang. Mungkin batik bukan seni. Atau mungkin dikotomi seni-sains di atas benar tak pas. Mungkin hidup ini melampaui dikotomi, diferensiasi, diskriminasi … apalagi?

 

Identitas

Pagi itu saya memutuskan untuk bangun kesiangan. Kemarin, setelah undur diri dari kediaman Sigit Witjaksono, Slamet membawa kami menuju sebuah bukit, yang cukup tinggi untuk melepas pandangan ke laut Jawa. Di sana ada semacam gugusan batu besar melingkar yang dinamai Watu Guling. Hampir semuanya dipahat dalam bentuk wajah. Namun ada pula yang menyerupai kepala kuda. Ada yang seperti lingga-yoni. Ada yang tak dapat saya deskripsikan ringkas. Salah satu wajah yang terbesar berada dalam posisi terguling, karena tersundul jalur pertumbuhan sebuah pohon.

Konon situs ini dibangun oleh koloni Hoakiao pertama yang mendarat di Jawa, di bawah kepemimpinan Kie Seng Dhang, sekitar 200 tahun sebelum Masehi. Tak banyak informasi yang saya tahu soal koloni ini, dan cerita-cerita Slamet seolah tak lagi muat diingat. Yang saya ingat, angka 200 tahun sebelum Masehi itu didapat dari jumlah goresan tahun pada sebatang kayu (pathok) yang kini entah dimana rimbanya.
Turun dari Watu Guling, kami mampir di Makam Dawa, sejengkal tanah kosong yang diyakini sebagai kuburan pathok keramat itu. Seorang spiritualis lokal mengatakan bahwa pathok itu sudah hilang dari makamnya. Saya merasa perjalanan ini makin tak masuk di akal. Dan banal.
Terlalu banyak konon. Terlalu banyak katanya. Mana faktanya?
Faktanya, hari itu saya hanya bertemu sebuah bangunan rumah — lagi-lagi di atas bukit yang tingginya lumayan. Tembok sisi belakangnya memuat satu gambar aneh. Sepertinya itu semacam bunga teratai yang tampak atas, sehingga terlihat bundar. Kelopaknya ada delapan. Bundaran itu dibagi dua oleh lengkungan yang lazim kita temui pada simbol Taoisme. Pada bagian yang satu terdapat simbol positif, satunya lagi negatif. Di atas gambar itu terdapat kalimat: HWUNING-MEWHUNINGI. MANUSWA-BADRA-SANTI. Sedangkan di bagian bawah gambar ada tulisan: INDRIYA-PRA-ASTHA.
Saya tak paham betul arti gambar tersebut. Apakah delapan kelopak teratai itu merujuk pada Jalan Utama Berunsur Delapan dalam ajaran Buddhisme? “Hwuning” menurut Slamet adalah “mengetahui yang benar”. Sementara Badra-Santi adalah nama babad yang pernah Slamet tunjukkan pada saya di Salatiga. Nama penulisnya adalah Santibadra. Di dalam rumah ini memang terdapat kubur punden leluhur Jawa yang diyakini sebagai tempat Mpu Santibadra biasa bertapa, sebelum meninggal tahun 1527. Nama yang tertera paling atas pada nisan punden itu adalah Kie Seng Dhang, pemimpin koloni Hoakiao pertama di Jawa.
Apakah orang Jawa berleluhur orang Tiongkok?
Menurut sebuah buku — Slamet menyebutnya “buku kanung” — ketika koloni pimpinan Kie Seng Dhang mendarat di Jawa pada tahun 200 sebelum Masehi, sudah ada sekelompok manusia yang menetap terlebih dahulu di sini. Namun kelompok “pribumi” tersebut berperadaban lebih rendah, hingga akhirnya tersingkir ke pedalaman gunung. Koloni Kie Seng Dhang menguasai wilayah lembah dan pantai. Orang yang tinggal di pedalaman gunung itu kemudian disebut “wong kanung” atau “orang gunung”. Sedangkan yang di lembah dan pantai adalah yang kelak disebut sebagai Jawa.
Namun Jawa di situ bukanlah perkara geografis belaka. Dalam buku kanung diceritakan, asal nama Jawa adalah kata “jawi”, yang berarti “banteng betina”. Orang-orang koloni Kie Seng Dhang belajar dari seekor banteng betina, tentang bagaimana binatang itu memperlakukan anaknya dengan ngerti (mengerti), gemati (sayang), dan wigati (perhatian). Tiga watak jawi inilah yang kemudian diteladani, dan orang yang meneladaninya disebut Jawa. Di sini, menjadi Jawa bukan lagi semata-mata etnis atau geografis, tetapi nilai. Ketika orang Jawa tak lagi mengerti, sayang, dan perhatian kepada sesama dan lingkungannya, di situlah kalimat “wong Jawa ilang Jawa-ne” menemukan maknanya.
Bagaimana?

Tanpa

Beberapa bulan setelah hari itu, kami ke Rembang lagi. Kali ini tidak berdua, melainkan berempat: bersama Immanuel Arya dan Evan Adiananta. Namun, karena kurang koordinasi, kami tak dapat bersua Slamet Haryono. Ia sedang di Yogyakarta, dan baru tiba di Rembang malam hari. Padahal rencana kami pulang ke Salatiga adalah petang nanti.
Lantas kemana kami harus pergi? Rembang tanpa Slamet seperti kuburan tanpa juru kunci.
Padahal kalau dihitung-hitung, sudah tiga kali saya ke Rembang, namun masih saja asing dengan kabupaten ini. Kali pertama ke Rembang dulu hanya main-main ke museum Kartini. Juga ke pantainya untuk lihat-lihat jangkar raksasa — konon milik Dampo Awang — yang sekitar 3 meter panjangnya. Saya lebih banyak icip-icip makanan khas Rembang waktu itu. Pagi makan sate srepeh, siang ke bakso balungan, sore makan swike di desa Jeruk, lalu ditutup dengan buah kawis. Ada juga lontong tuyuhan yang rasanya tidak beda dari lontong opor kebanyakan. Yang paling mantap adalah swike kuah Jeruk disantap pedas-pedas di bawah teriknya siang. Hwahh …!

Kapal

Kami memutuskan untuk mampir terlebih dahulu ke Babagan; istirahat sejenak sebelum mencari sendiri situs incaran: sebuah kapal kuno dari abad ke-7 — sekitar dua abad lebih kuno dari Borobudur — yang ditemukan sekitar setahun yang lalu di Rembang. Dari obrolan di kedai kopi lelet, akhirnya kami tahu kemana harus mengarahkan haluan.
Situs itu terletak di desa Punjulharjo. Kalau Anda berkendara dari alun-alun Rembang ke arah timur, agak jauh sebelum masuk kecamatan Lasem akan terlihat sebuah papan biru kecil di sisi kiri jalan. Tertulis: LOKASI KAPAL. Anda akan memasuki jalan desa yang tak beraspal, ke areal pertambakan penduduk. Isuzu Panther masih mampu melewati medan ini, hingga tersisa hanya beberapa puluh meter dari titik situs incaran. Angin laut bertiup agak kencang.


Waktu itu tengah hari. Laut sedang pasang, dan situs itu pun tenggelam. Di atasnya telah dibangun selter berpagar, dan jalan setapak dari karung pasir menghubungkannya dengan pematang tambak. Kami hanya dapat menyaksikan wujud kapal secara samar dari pinggiran. Ikan-ikan bandeng muda tampak berseliweran.
Konon, kapal kuno ini memang sengaja tak diangkat dari tambak agar tidak mrotoli. Kayunya, yang diperkirakan berasal dari abad ke-7, kelihatan lapuk. Angka perkiraan tersebut adalah hasil uji penanggalan “radiocarbon” di sebuah laboratorium di Amerika Serikat. Saya tak tahu apa itu “radiocarbon”, kedengarannya cukup “ilmiah” dan sahih. Yang jelas, dengan hasil penanggalan demikian, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah mengklaim kapal ini sebagai temuan kapal kuno terutuh yang tertua di Asia Tenggara. Ketika pertama kali ditemukan, konon bangkai kapal ini memuat beberapa benda, salah duanya adalah belulang manusia dan arca kepala perempuan berparas Cina. Namun saat kami ke sana benda-benda tersebut tidak ada. Sudah diamankan, katanya.
Jadi, ini kapal apa sebenarnya?
Panjangnya 15 meter dan lebarnya 4,5 meter. Kayunya sejenis ulin Kalimantan. Memuat arca kepala perempuan Cina. Berasal dari abad ke-7. Saya tidak punya ide karangan untuk menjelaskan fakta-fakta ini. Mungkin Slamet punya


ditulis oleh. Mas Satria .A
dikirim oleh. Ko Hui Zhang


Selanjutnya....

Rangkuman Laporan Rahasia Residen Portman


Rangkuman Laporan Poortman dari Catatan Klenteng Sam Po Khong Semarang & Talang


Uraian Ringkasan Laporan Poortman kurang lebih seperti di bawah ini dan telah kami beri tambahan penjelasan dari sumber lain.

1405 - 1425 Armada Tiongkok dinasti Ming di bawah Laksamana Haji Sam Po Bo (Ceng Ho) berada di perairan Asia Tenggara. Pada 1415 menara mercu suar dibangun di Gunung Jati oleh Kung Wu Ping (Sam Po Bo alias Cheng Ho) keturunan dari Kung Hu Cu. Di Sembung, Sirindil, dan Talang dibentuk masyarakat muslim Tionghoa.

1407 (Atas permintaan majapahit) Armada Tiongkok Laksamana Sam Po Bo membebaskan Kukang (wilayah
Palembang) yang sudah turun temurun menjadi sarang perampok orang-orang Tionghoa non muslim dari Hokkian. Cen Cu Yi, kepala perampok, ditawan dan dihukum mati di Peking. Didibentuk masyarakat Tionghoa muslim pertama di Kukang. Pada tahun itu pula, dibentuk masyarakat muslim Tionghoa di Sambas, Kalimantan.

1413 Armada Lasamana Sam Po Bo singgah di
Semarang selama satu bulan untuk perbaikan kapal. Sam Po Bo, Ma Huan, dan Fe Tsin sering sekali datang ke masjid Tionghoa Hanafi di Semarang untuk melakukan sembahyang. Bong Tak Keng (kakek Sunan Ampel) di tempatkan di Campa. Bong Tak Keng menempatkan Haji Gan Eng Cu di Manila (Filipina).

1423 Haji Gan Eng Cu (Aria Teja) dipindahkan ke Jawa kemudian karena jasanya diberi gelar A Lu Ya (Aria) oleh Raja Majapahit Su King Ta (Rani Suhita) yang memerintah pada tahun 1427-1447.

1424 - 1449 M Hong Fu ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok untuk Majapahit. Ma Hong Fu adalah menantu Bong Tak Keng.

1425 - 1431 Laksamana Sam Po Bo diangkat menjadi gubernur di
Nan King otomatis sebagai Wali Raja Tiongkok. Di masjid Hanafi di Semarang diadakan sembahyang hajat dan doa selamat untuk Sam Po Bo.

1430 Laksamana Sam Po Bo merebut Tu Ma Pan di Jawa Timur dan menyerahkan daerah itu kepada raja Su King Ta (Rani Suhita). Gang Eng Wan, saudara Gan Eng Cu (ayah Sunan Kalijaga) dijadikan gubernur di Tu Ma Pan, ialah Bupati pertama majapahit yang beragama Islam.

1431 Laksamana sam Po Bo wafat. Masyarakat Tionghoa muslim di Semarang melakukan sholat gaib.

1436 Haji Gan Eng Cu pergi ke Tiongkok menghadap Kaisar Yang Yu. Kaisar Yang Yu memberikan kepada haji Gan Eng Cu tingkatan dan pakaian Mandarin Besar lengkap dengan tanda pangkat (tanda penghargaan) berupa ikat pinggang emas.

1443 Swan Liong kepala pabrik mesiu di
Semarang ditempatkan oleh Haji Gan Eng Cu sebagai Kapten Cina di Kukang (Palembang) yang sering diserang oleh bajak laut Tionghoa non muslim.

1445 Bong Swi Ho (Raden Rahmat atau Sunan Ampel) diperbantukan kepada Swan Liong di Kukang. Bong Swi Ho adalah cucu dari Haji Bong Tak Keng di Campa.

1446 Bong Swi Ho singgah di masyarakat Tionghoa muslim di Semarang.

1447 Bong Swi Ho menikah dengan putri Gan Eng Cu di Tuban (sehingga menjadi kakak ipar Gan Si Cang atau Raden Said alias Sunan kalijaga).

1447 - 1451 Bong Swi Ho ditugaskan oleh Gan Eng Cu ke Bangil /muara Brantas Kiri (kali Porong).

1448 Bupati Gan Eng Wan (Tumenggung Wilatikta atau Aria Suganda) terbunuh oleh orang-orang Hindu Jawa dalam kerusuhan di Tu Ma Pan.

1449 Duta Besar Tiongkok Haji Ma Hong Fu singgah ke
Semarang dalam perjalanan kembali ke Tiongkok. Istri Ma Hong Fu telah wafat dan dimakamkan secara islam di Majapahit.

1450 - 1475 Kekuasaan dinasti Ming telah merosot, armada Tiongkok tidak pernah datang lagi ke Majapahit. Perkembangan Islam turut merosot pula, banyak masjid yang berubah menjadi Klenteng lengkap dengan Patung Demi God Sam Po Kong di setiap mimbarnya. Masjid di Sirindil sudah menjadi pertapaan, masjid di Talang menjadi klenteng Sam Po Kong. Sebaliknya, perkembangan Islam di Sembung maju pesat. Haji Bong Tak Keng dan Haji Gan Eng Cu wafat, Bong Swi Ho berinisiatif mengambil alih koordinasi dakwah Islam di Jawa, Kukang, dan Sambas, tanpa berhubungan lagi dengan Tiongkok. Bong Swi Ho mengganti bahasa komunikasi Tiongkok dengan bahasa Jawa.

1451 Campa yang beragama Islam Hanafi direbut oleh orang beragama Budha dari Sing Fu An (Pnom Penh). Bong Swi Ho pindah ke Ngampel.

1451 - 1457 Sepeninggal Bong Swi Ho, masjid di Jiaotung (Bangil) berubah menjadi Klenteng, orang Jawa muslim di
sana masih sangat sedikit. Masyarakat Jawa muslim mulai terbentuk di Ngampel dan semakin kuat hingga ke Madura. Koordinasi dengan Tuban, Kukang, dan Sambas tetap terjalin.

1445 Kota Jiaotung hilang dilanda banjir. Pelayaran kali Porong menjadi sepi.

1456 - 1474 Swan Liong di Kukang membesarkan dua orang peranakan Tionghoa yang lahir dari ibu Tionghoa, yakni Jin Bun yang katanya anak dari Kung Ta Bu Mi dan Kin San (Jin Bun adalah anak Prabu Kertabumi yang lebih dikenal dengan nama Raden Fatah, sedangkan Kin San adalah saudara seibu Jin Bun yang dikenal juga dengan nama Husein atau Kusen).

1474 Jin Bun dan Kin San singgah di Masjid Hanafi Semarang dalam perjalanan menemui Bong Swi Ho di Ngampel. Dalam Masjid Hanafi Semarang, Jin Bun menangis melihat ada patung Sam Po Kong di dalamnya. Ia berdoa semoga dapat mendirikan masjid yang tidak akan lagi berubah menjadi Klenteng di Semarang.

1475 Jin Bun ditempatkan oleh Bong Swi Ho di daerah tak bertuan di sebelah timur
Semarang. Jin Bun mendapat tugas membentuk masyarakat muslim baru sebagai pengganti masyarakat muslim Tionghoa di Semarang yang telah murtad. Kin San diperintah menjadi barisan kelima di Majapahit karena sepeninggal Ma Hong Fu tidak ada lagi sumber berita bagi orang Tionghoa. Kin San melamar ke Majapahit dengan menunjukkan keahliannya membuat mercon (petasan) yang amat disukai Prabu Kertabumi.

1475 - 1518 Dengan tangan besi Jin Bun menjadi penguasa di Demak yang baru menjadi kerajaan Islam.

1447 Jin Bun menguasai
semarang dengan kekuatan 1.000 orang pasukan berani mati. Jin Bun mendahulukan Klenteng Sam Po Kong dan tidak membunuh muslim Tiongkok yang telah murtad. Orang Tiongkok non muslim Semarang mendukung kerajaan Islam Demak. Atas permintaan Bong Swi Ho, raja Kung Ta Bu Mi (Kertabumi) mengangkat Jin Bun sebagai bupati Bing To Lo (Bintara) yang berkedudukan di Demak dengan nama Pangeran Jin Bun. Jin Bun menghadap Kertabumi dan diakui oleh Kertabumi sebagai anaknya.

1478 Bong Swi Ho wafat di Ngampel. Jin Bun tidak melayat ke Ngampel namun dengan pasukannya merebut pedalaman Jawa, sedangkan Bong Swi Ho seumur hidup tidak pernah mengizinkan penggunaan senjata terhadap orang-orang Jawa yang masih beragama Hindu. Jin Bun menaklukkan Majapahit. Kung Ta Bu Mi (Kertabumi) ditawan dan dibawa ke Demakan diperlakukan dengan sangat hormat selaku ayahnya. Jin Bun memerintahkan mendirikan masjid yang baru di
Semarang.

1478 - 1529 Kin San selama setengah abad menjadi Bupati Semarang yang sangat toleran menjadi bapak rakyat, melindungi segala bangsa dan agama. Gan Si Cang (Raden Said alias Sunan kalijaga), seorang putra yang murtad dari mendiang Haji Gan Eng Cu, ditunjuk sebagai kapten Cina non muslim di Semarang. Kin San dan Gan Si Cang mendirikan kembali penggergajian kayu dan galangan kapal yang telah tiga turunan ditinggalkan, sisa peninggalan Sam Po Bo.

1479 Seorang putra (Bong Ang atau Sunan Bonang, anak Bong Swi Ho) dan seorang bekas murid Bong Swi Ho (Sunan Giri) datang melihat-lihat galangan kapal dan klenteng sam Po Bo di Semarang. Mereka berdua tidak pandai bahasa Tionghoa.

1481 Atas permintaan tukang-tukang di galangan kapal, Gan Si Cang memohon kepada Kin San agar masyarakat Tionghoa non muslim diperbolehkan secara sukarela membatu penyelesaian Masjid Demak. Permintaan tersebut dikabulkan oleh Jin Bun.

1488 Pa Bu Ta La (Prabu Daha atau Batara Prabu Girindrawardana), seorang menantu dari Kung Ta bu Mi (Kertabumi) menjadi Bupati Majapahit yang beragama Hindu. Majapahit menjadi kerajaan bawahan Demak.

1509 Yat Sun (Pati Unus), seorang putra dari Jin Bun, mendampingi Kin San di galangan kapal
Semarang. Pembuatan kapal dilipatgandakan karena Yat Sun katanya hendak merebut Moa Lok Sa (Malaka) dengan armada Demak.

1512 Yat Sun sangat tergesa-gesa menyerang Moa Lok Sa yang sudah direbut oleh orang-orang biadab berambut merah dan yang mempunyai senjata-senjata api jarak jauh.

1513 Seorang bangsa Ta Cih bernama Ta Jik Su, kapalnya rusak dan diperbaiki di galangan kapal
semarang. Ja Tik Su diantar Kin San serta Yat Sun ke Demak. Kapal model Ta Jik Su ditiru untuk memperbesar kecepatan dari kapal-kapal besar model jung Tiongkok.

1517 Atas undangan Pa Bu Ta la orang-orang biadab dari Moa Lok Sa (Portugis) datang berdagang dengan orang-orang Majapahit. Jin Bun untuk kali kedua menyerang Majapahit.
Kota dan Keraton habis, tapi Pa Bu Ta La dan keluarga tetap menjadi bupati di Majapahit karena salah satu istri Pa Bu T La adalah adik bungsu Jin Bun sendiri.

1518 Jin Bun wafat dalam usia 63 tahun.

1518 - 1521 Yat Sun (Pati Unus) memerintah selaku raja di Demak. Pati Unus memiliki 3 putra lelaki, yang pertama Pangeran Seda Lepen alias Raden Kikin, yang tengah bernama Trenggono (Tung Ka Lo), dan yang bungsu bernama Pangeran Timur (Toh A Bo).

1521 Yat Sun menyerang Moa Lok Sa kembali. Yat Sun wafat. Terjadi huru-hara tentang penggantinya di Demak. Pa Bu Ta La melakukan hubungan dengan Moa Lok Sa dan Tiongkok.

1521 - 1546 Tung Ka Lo (Trenggono) menjadi raja di Demak.

1526 Kin San yang sudah tua namun pandai berbahasa Tiongkok bersama Panglima Demak Toh A Bo dikirim ke Sembung (
Cirebon) untuk menundukkan orang-orang Tionghoa. Dari Talang pergi ke Sirindil dimana Haji Tan Eng Hoat keturunan Hokkian, imam Sembung, sedang melakukan tapa. Di Sembung, Tan Eng Hoat diberi gelar atas nama raja Demak berbunyi Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi (Maulana Ifdil Hanafi). Tentara Demak satu bulan bertamu pada Tan Eng Hoat.

1527 Pa Bu Ta La wafat. Panglima Toh A Bo (Sunan Gunung Jati), seorang putra Tung Ka Lo, dengan tentara Demak menduduki kraton Majapahit. Putra-putri Tung Ka Lo tak bersedia masuk Islam dan melarikan diri ke Pasuruan dan Panarukan. Pada tahun yang sama Demak menyerbu wilayah Pajajaran di Banten yang akan dijadikan markas Portugis (Ayatrohaedi, 2006).

1529 Kin San wafat dalam usia 74. Jenazahnya diantar ke Demak. Ikut seluruh penduduk
Semarang yang muslim maupun non muslim.

1529 - 1546 Muk Ming (Sunan Prawoto, anak Trenggono atau Tung Ka Lo) menggantikan Kin San.

1541 - 1546 Dengan bantuan masyarakat Tionghoa non muslim, Muk Ming menyelesaikan 1.000 kapal jung besar yang masing-masing memuat 400 orang prajurit. Tung Ka Lo hendak merebut pulau-pulau rempah di laut timur.

1546 Tung Ka Lo menyerbu ke timur. Tung Ka Lo wafat. Muk Ming naik tahta. Tentara Ji Pang Kang (pasukan dari Jipang dipimpin Arya Penangsang, cucu Jin Bun dari Raden Kikin atau Pangeran Seda Lepen, anak sulung Jin Bun) merebut Demak. Ji Pang Kang adalah juga cucu Jin Bun. Perang saudara di Demak. Kecuali masjid, seluruh keraton dan
kota Demak musnah. Tentara Muk Ming terdesak mundur dan bertahan di galangan kapal Semarang. Galangan kapal habis dibakar tentara Ji Pang Kang. Muk Ming wafat beserta putranya. Tentara Ji Pang diserang pula oleh tentara Peng King Kang (Jaka Tingkir dari Pengging, Jaka Tingkir adalah menantu Sultan Trenggono yang juga cucu Adipati Dayaningrat). Ji Pang Kang wafat. Peng King Kang mendirikan kerajaan di pedalaman (Pajang). Habis riwayat raja-raja Islam turunan Tionghoa/Yunan di Demak. Galangan kapal di Semarang tidak dibuka kembali.

1552 Panglima tentara Demak (Toh A Bo) setelah seperempat abad datang lagi ke Sembung sendiri tanpa pasukan hendak bertapa di Sirindil, yang membuat heran Tan Eng Hoat. Tan Eng Hoat kecewa dengan perang saudara di Demak. Tan Eng Hoat meminta kepada bekas Panglima Demak untuk membimbing umat muslim di Sembung dan mendirikan kesultanan seperti Jin Bun. Walau sudah tua, bekas Panglima Demak setuju.

1552 - 1570 Dengan bantuan umat Tionghoa di Sembung, berdiri kesultanan
Cirebon dengan kedudukan di kraton Kasepuhan yang sekarang dengan sultan bekas Panglima Demak. Sembung ditinggalkan dan menjadi kuburan Islam. Penduduk Sembung boyong sedesa dengan nama-nama Islam. Laporan Poortman ini bertentangan dengan cerita yang selama ini dipercaya, seperti yang ditulis Djamhur dkk (2006) bahwa pendiri Cirebon (yang identik dengan Tan Eng Hoat) adalah Pangeran Cakrabuana alias Walangsungsang alias Kiansantang, putra Prabu Siliwangi. Sedangkan Sunan Gunung Jati yang menjadi raja pertama Cirebon adalah anak dari Larasantang yang berarti keponakan dari Walangsungsang dari ayah keturunan Arab, bukan Pati Unus yang berdarah Tiongkok.

1553 Sultan Cirebon yang sudah tua menikah dengan putri Tan Eng Hoat. Pernikahan dikawal kemenakan yang masih muda bernama Tan Sam Cai.

1553 - 1564 Tan Eng Hoat dengan nama Pangeran Adipati Wirasenjaya menjadi vice
roy bawahan kesultanan Cirebon yang banyak jasanya dalam pengembangan Islam di daerah Priangan Timur hingga Garut.

1564 Tan Eng Hoat wafat dalam ekspedisi ke Galuh yang beragama Hindu. Jenazahnya dimakamkan di sebuah pulau di tengah danau di Garut. Pada masa ini menurut Ayatrohaedi (2005), kerajaan Galuh telah bergabung kembali dengan kerajaan Sunda dan Kawali karena hubungan perkawinan dengan nama kerajaan baru Pajajaran. Galuh sendiri berubah menjadi kerajaan bawahan setingkat kadipaten. Menurut Saleh Danasasmita (2006) dalam 'Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda' sehubungan dengan perkembangan kerajaan Islam di Majapahit, pusat kerajaan Pajajaran telah pindah dari Kawali yang dekat dengan Cirebon ke Pakuan yang terletak di sekitar Bogor.

1570 Sultan Cirebon yang pertama wafat dan digantikan oleh putranya yang lahir dari putri Cina. Karena raja masih belia, maka diwakilkan oleh Tan Sam Cai, suami dari Nurleila binti Abdullah Nazir Loa Sek Cong.

Pustaka

Muljana, Slamet. 2009. Runtuhnya Kerajaan Hindu - Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Cetakan ke-7. Penerbit PT LKiS Printing Cemerlang.
Yogyakarta

Ekadjati, Edi. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Penerbit PT Dunia Pustaka
Jaya.
Jakarta

Ayatrohaedi. 2005. Sundakala : Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah
Panitia Wangsakerta Cirebon
. Penerbit PT Dunia Pustaka Jaya.
Jakarta

Djamhur, Ibrahim, dan Yakin. 2007. Jejak Langkah Islam di Depok : Kembali ke Akar
sejarah kembali ke Sumber Syariah
. Penerbit Majelis Ulama
Indonesia Kota Depok. Depok


Hasil terjemahan Google :

Lādēng fǎ tǎ hè, dì yīgè guówáng de dàn mù, yuánmíng jiào jìn bǔ ń. Jìn bǔ ń shì mǎn zhě bóyí guówáng Kertabumi qīzi shuí mìngmíng de bān cóng xiānggǎng lái de shāngrén zhōng zǐ gōngsī guówáng de érzi. Chéngnián hòu, jìn bǔ ń zōngjiào xuéxí, shèhuì gōngzuò jú fèng hé yòu míng lādēng lā mǎ tèbié míng yóu
kǎn pà sū nán Ampel(jiǎnpǔzhài) shì fèng jìng, zhàn pó guówáng de sūnzi. Shèhuì gōngzuò jú zài 1445 nián fèng hé bàifǎng le tā de gūgū shì shuí yě cóng lìng yīgè qīzi, jí értóng de mǎn zhě bóyí guówáng Wikrawardana huò chénxiāng shítǐ (wáng huánghòu Kusumawardani Hayam qīzi wú lǔ kè,Wikrawardana yǒu yīgè míng wèi lā ní Suhita shuí chéngwéi guówáng Kertabumi qián guówáng de érzi). Zài Java de tǔdì, fèng hé shèhuì gōngzuò jú yǔ gān é ń tóng (yòu míng yǒngtàndiào tè hā huò nà mǔ zǐnǚ yǐ hūn), shì mǎnílā qián shèzhèng (fēilǜbīn) yǐ zài tú bān shēng rù Ngabei, shuí yěshì gàn sì cāng yòu míng lādēng shuō huò sū nán Kalijaga fùqīn. Tóngshí, gān é ń tóng gēgē zhè yě yìwèi zhe duì sì gān gān tiě ń shūshu míng jiào cāng yòu míng wéi lā wān (), bèi rènmìng wèi shèzhèng wáng de tú bān yòng xīn de míngchēng tú méng gòng Wilatikta. Tú méng gòng Wilatikta shì mǎn zhě bóyí dì yī shèzhèng shuí shì mùsīlín.

Mǎn zhě bóyí yǔ zhōngguó zhèyàng de qīnmì guānxì, shǐ zìyóu yuànyì bāngzhù zhōngguó'ānquán'mǎn zhě bóyí guówáng shì fēicháng huānyíng. Zhōngguó hǎijūn shíxiàn sānbǎo bǎi (zhèng hé) zài 1402 nián shǐ zhè xiàng jùyǒu tèshū shǐmìng de yīsīlán jiào zài dōngnányà, tèbié shì yìndùníxīyà chuánbò ānquán yuánzhù rènwù. Zài yīsīlán zōngjiào de mànyán, sānbǎo bǎi shèjí zhǒngzú de mùsīlín guānyuán Tionghoa mǎn zhě bóyí, shuí fāshēng zài tāmen xǔduō rén réngrán xiāngguān (jiātíng guānxì) yǔ zhōngguó guānyuán. Yīncǐ, zài mǎn zhě bóyí shuì de tǒngzhì, tóngshí yùnxíng de rènwù, zhè shì yóu yīsīlán xuānjiào Tionghoa xiétiáo hǎijūn shàng jiàng zài zhè zhǒng qíngkuàng xià shì sānbǎo bǎi.

Yīncǐ, miáoshù piànduàn Poortman bàogào zuòwéi bù lài advies zài 1928 nián hélán dōng yìndù zhèngfǔ, miáoshù zài 13 shìjì de Tionghoa mínzú yīsīlán jiào de chuánbò gòngxiàn, bìng zài gāi qúndǎo, nàlǐ de zhōuzhǎng sōng gē zuòyòng fēicháng zhànlüè dì 14 wèi. Duìyú dà duōshù rén lái shuō, xìnxī tí dào zhōuzhǎng sōng gē shì Tionghoa kěnéng chéngwéi yīgè xīn de zhīshì.

1964 Nián chūbǎn le yī běnmíng wèi yēhéhuá de yǐ shūmiàn ráo. Mangaraja Onggang Parlindungan, shuí zài fùlù zhōng yǒu guānyú mínzú de yīsīlán jiào Tionghoa 14 shìjì hé 15 rì zài gāi qúndǎo de gòngxiàn chuánbò de zhòngyào xìnxī shì cóng Poortman láiyuán. 1928 Nián Poortman yǔ zuòwéi hé shǔ dōng yìndù zhímíndì zhīfǔ le sōuchá, jiéguǒ jiǎnhuò de nénglì de zhòngyào jìlù, tèbié shì cóng kōng xiàn sānbǎo miào sānbǎo lǒng (zhōng zhǎowā) hé luòshuǐguǎn (jǐng lǐ wèn, xī zhǎowā). Yǒurén shuō, jìlù cóng sānbǎo lǒng sìmiào yīyàng sān liàng tǎnkè chē hé yīxiē chāoguò 400 suì duō kòuyā. Shénme shì dōng gū ráo jiàoshòu de shūmiàn sìhū xīyǐn Bóshì Sī lā méi Muljana shuí ránhòu gēn jìn yánjiū hé chūbǎn gōngzuò zài ān ā bó měiguó zài dōngfāng guójì dàhuì yú 1967 nián le, hòulái zài 1968 nián chūbǎn de shū. Suīrán Muljana bèi kāndēng zài 20 shìjì 60 niándài, ér shì Tionghoa mínzú de gòngxiàn, nǔ shā dēng jiā lā shí sān zhì shí sì shìjì yīsīlán jiào de chuánbò xiězuò jīnglì le'jìnzhǐ'hé jìnzhǐ jiàng zài xīn zhìxù zhèngquán gōngbù, yīncǐ, shìmín zhǐ néng kàn dào tā yòu zài 2005 nián kāishǐ, méiguī Jǐn zhǐshì yīgè zǒngjié.

Zhèngrú tā zìjǐ jiěshì Poortman zài qí bàogào zhōng zhǐchū, sānbǎo qīng kǒng tǎ sōusuǒ yǔ fēnpèi, yǐ quèbǎo fǎ tǎ hè lādēng de xiāoxi,
sūdān de dàn mù dì yī, shì zhǒngzú de míngchēng Tionghoa jìn bù ń mìmì rènwù kāishǐ. Qiǎohé de shì zài 1928 nián yóu gòngchǎndǎng rén de zhèngzhì instbilitas, shuí ránhòu zuòwéi Poortman jièkǒu mòshōu jiàshǐ fāshēng zài jǐ gè sìmiào de wénjiàn, tèbié shì sānbǎo qīng kǒng tǎ zài sānbǎo lǒng hé páishuǐ gōu, cǐqián yǐ zhī de bǎotǎ, bǎotǎ yòng lái jìlù Yǒuguān bǎotǎ zhòngyào de shìjiàn.

Guānyú tā Poortman yán jiù bàogào, mùqián cúnfàng zài guójiā gōng lài sī wéi kè, hélán. Suīrán cóng sānbǎo qīng kǒng tǎ jiǎnhuò 1928 nián yuán wénjiàn de cúnzài, shì cónglái méiyǒu tí dào tā de cúnzài.

Xiàmiàn wǒmen liè chū le cóng jìlù Poortman sānbǎo qīng kǒng tǎ qǔdé de yīxiē bàogào, dàn xūyào qiángdiào de shì, suīrán yǐ zài 1967 nián zài yīgè shèhuì huà de guójì lùntán, dàn bèi xiě rù yǐxià réng shì zhuānjiā men jìnyībù yánjiū cáiliào. Zhè sìhū shì yīgè lìshǐ de gēnyuán réngrán xūyào duì yuán shǒugǎo de cúnzài zhèngmíng cóng sān pú gǎng miào mòshōu, shènzhì zhèngmíng jūmín Poortman shùzì wèi lìshǐ rénwù.

Zǒngjié bàogào zhùyì shān mǔ qīng kǒng tǎ sānbǎo lǒng hé luòshuǐguǎn bǎo Poortman

Zhāiyào huò duō huò shǎo xiàng xiàmiàn miáoshù Poortman, bìng jǐyǔ wǒmen cóng qítā láiyuán de bǔchōng shuōmíng.

1405 Nián zhì 1425 nián míngcháo zhōngguó jiànduì zài dōngnányà shuǐyù shàng jiàng xià sānbǎo bǎi cháoshèng zhě (céng shì hé). Zài 1415 nián de dēngtǎ tǎ jiàn zài shān yòumù yóu gōng wú pī ń (sānbǎo bǎi yòu míng zhèng) gōng hú zuò hòuyì. Zài Sembung,Sirindil, jiànlì hé luòshuǐguǎn mùsīlín shèqū nǔlì.

1407 Nián (zài yāoqiú mǎn zhě bóyí) jiànduì sīlìng sānbǎo bǎi zhōngguó shìfàng (jù gǎng dìqū) yǐ chéngwéi zéi wō shìxí cóng fújiàn Tionghoa nàxiē fēi mùsīlín lǎn hóu. Tóng cén yì, qiángdào tóu, zài
běijīng zhuāhuò bìng pànchǔ sǐxíng. Tionghoa Didibentuk dì yīgè mùsīlín de lǎn hóu. Tóngnián,Tionghoa mùsīlín shèqū sāng bā sī, jiālǐ màn dān chénglì.

Ā mǎdá 1413 Lasamana sānbǎo bǎi tíng zài le yīgè yuè sānbǎo lǒng wéixiū chuán. Sān pú bō, mǎ huan, tiě zhēn lái, wǎngwǎng zài sānbǎo lǒng Tionghoa hā nà fēi qīngzhēnsì jìnxíng qídǎo. Bāng wú jìng (sū nán Ampel zǔfù) fàngzhì zài zhàn pó. Bāng wú hā jí gān kē ń gōngchéng jiāng tóng (sū nán Kalijaga fùqīn zài mǎnílā)(fēilǜbīn).

Cháojìn 1423 gān é ń tóng (yǒngtàndiào tè hā), ránhòu yídòng, yīnwèi tā de fúwù,Java shì jǐyǔ de mǎn zhě bóyí guówáng sù tā (lā ní Suhita) shuí zài wèilái de 1427 nián zhì 1447 nián zài wèi de guówáng shì ā lù (yǒngtàndiào) chēnghào.

1424 Nián zhì 1449 nián gōngyuán kāngfù zhù zhōngguó dàshǐ, zuòwéi mǎn zhě bóyí. Mǎ kāngfù bùshì fèng gēng fǎ.

1425 Nián zhì 1431 nián sānbǎo bǎi shàojiàng bèi rènmìng wèi nán jǐng, zhōngguó zìdòng shì zhǎng wáng shěng zhǎng. Zài hā nà fēi zài sānbǎo lǒng, jǔxíng qídǎo, qídǎo páiniào zhùhè sānbǎo bǎi qīngzhēnsì.

1430 Shàng jiàng sānbǎo bǎi túmǒ pān dōng zhǎowā dìqū cháhuò bìng tíjiāo gěi guówáng sù tā guówáng (lā ní Suhita). Yīng wàngāng, gān é ń tóng qīnshǔ (sū nán Kalijaga fùqīn) bèi yòng lái zuòwéi pān mǒ tu zhōuzhǎng, shì dì yīgè shèzhèng mǎn zhě bóyí mùsīlín de yǐngxiǎng.

1431 Nián hǎijūn shàng jiàng pú bǎishān mǔ sǐwáng. Tionghoa mùsīlín zuòwéi biǎoyǎn móshù sānbǎo lǒng.

Cháojìn 1436 gān é ń tóng dào zhōngguó de huángdì yáng yú. Huángdì yáng yú gān é ń cháoshèng sòng gěi tóng shuǐpíng yǔ dà qípáo yǔ jiānzhāng (huòjiǎng) zài jīn yāodài de xíngshì wánchéng.

1443 Nián zhìdì tiāné tóu dànyào chǎng de cháoshèng zhě gān ā ń tóng yǐ zuòwéi zhōngguó de lǎn hóu (jù gǎng), zhè shì jīngcháng bèi hǎidào Tionghoa fēi mùsīlín xíjí duìzhǎng sānbǎo lǒng.

Shèhuì gōngzuò jú 1445 bāng háo (lādēng lā mǎ tè huò sū nán Ampel) jièdiào dào tiāné lǎn hóu zhìdì. Shèhuì gōngzuò jú fèng hé jiùshì hā jíbāng kēng
kǎn pà méiyǒu sūnzi.

Shèhuì gōngzuò jú 1446 nián fèng hé mùsīlín Tionghoa tíngliú zài sānbǎo lǒng.

Shèhuì gōngzuò jú 1447 nián jiéhūn, zài hé fèng tú bān de gān ó ń tóng nǚér (chéngwéi xiōngdì jiěmèi Gan sì cāng huò lādēng shuō biémíng sù nán Kalijaga).

1447 Nián zhì 1451 nián fèng hé shèhuì gōngzuò jú wěituō, yǐ bāng yì ěr gān ó ń tóng/bù lán tǎ sī hé zuǒ (cì bō lóng hékǒu).

1448 Nián shèzhèng yīng gān wán (tú méng gòng Wilatikta huò yǒngtàndiào Suganda) bèi shā sǐ zài zhǎowā tu ma fàn sāoluàn yìndù jiàotú.

1449 Nián de zhōngguó hā jí má kāngfù dàshǐ tíng xiàlái de fāngshì huí dào zhōngguó sānbǎo lǒng. Mǎ kāngfù de qīzi yǐjīng qùshì, bèi ānzàng zài yīsīlán jiào zhōng mǎn zhě bóyí.

1450 Zhì 1475 nián yǐ xiàjiàng le míngdài de quánlì, zhōngguó de jī duì zài yě méiyǒu huílái de mǎn zhě bóyí. Yīsīlán fāzhǎn yěyǒu suǒ xiàjiàng, xǔduō qīngzhēnsì, miàoyǔ, yī zhuàn sān pú gǎng de shàngdì zài měi yīgè jiǎngtán diāoxiàng wánchéng. Zài Sirindil qīngzhēnsì yǐjīng yǐnjū, zài yīngōu lǐ yīzuò qīngzhēnsì, yǐ sān gǎng sì. Xiāngfǎn, yīsīlán jiào zài Sembung fāzhǎn fánróng. Bāng de cháoshèng hé cháoshèng gān ē ń gōngchéng tóng sǐwáng, hé fèng shèhuì gōngzuò jú zhǔdòng jiēguǎn Java zhōng, lǎn hóu yīsīlán xuānjiào xiétiáo, sāng bā sī, bù zài yǔ zhōngguó xiāngguān. Fèng hé shèhuì gōngzuò jú yǔ zhōngguó qǔdài Java yǔyán de gōutōng yǔyán.

Kǎn pà 1451 hā nà fēi mùsīlín fúlǔ xīng fu guǎng (Pnom jīnbiān) de fójiào rénshì. Fèng hé bān dào Ngampel shèhuì gōngzuò jú.

1451 - Shèhuì gōngzuò jú hòu, hé fèng, zài Jiaotung qīngzhēnsì (bāng yì ěr) shìshì 1457 nián biàn chéng le jìngguó shénshè, zài zhǎowā de mùsīlín réngrán yǒu fēicháng xiǎo de. Zhǎowā de mùsīlín shèhuì kāishǐ xíngchéng Ngampel, zhízhì dào mǎ dū lā yuè lái yuè qiáng. Pèihé tú bān, lǎn hóu, hé sāng bā sī réngrán jiūchán zài yīqǐ.

1445 Chéngshì Jiaotung shīzōng yānmò. Fēngfān shídài bō lóng chéngwéi huāngliáng.

1456 Nián zhì 1474 nián tiāné zhìdì zài lǎn hóu tǔshēng huárén fǔyǎng liǎng gèrén shì cóng mǔqīn Tionghoa chūshēng de, jí tā shuō, jìn pū ń de mǐ hébù shè jiànxīn (jìn bo ń érzi shì wáng Kertabumi ér zǐ gēng hǎo de míngzì lādēng fǎ tǎ hè chūmíng, ér jiànxīn Jìn bǔ ń wǒ mǔqīn de érzi shì shuí yě bèi chēng wèi zǐmèi hóu sài yīn huò kuàngjià).

1474 Zhuōwén xuān yǔ jiàn hǎibīn xīn tíngliú zài sānbǎo lǒng hā nà fēi qīngzhēnsì de lùshàng kàn dào Ngampel shèhuì gōngzuò jú fèng hé. Zài hā nà fēi zài sānbǎo lǒng qīngzhēnsì, jìn bǎo ń kū kàn dào tā shān mǔ pú gǎng de diāoxiàng. Tā qídǎo de qīngzhēnsì, kě jiàn, bù huì bèi zàicì chéngwéi yīgè zài sānbǎo lǒng miào dǎkāi.

1475 Nián yóu hé hǎibīn fèng jīn zài shèhuì gōngzuò jú fāchū de wú rén dìdài dōngbù de sānbǎo lǒng. Jìn bǔ ń jiànyú xíngchéng zuòwéi zài sānbǎo lǒng Tionghoa shuí yě tìdài zhuǎnhuàn yīgè xīn de mùsīlín shèhuì mùsīlín shèhuì de rènwù. Jiànxīn cáijué hòu, mǎ kāngfù sǐ zài mǎn zhě bóyí dì wǔ liè, yīn wéi bù zài yǒuyī zé xīnwén wéi rénmín xīnqín de láiyuán. Jiànxīn shēnqǐng mǎn zhě bóyí, yǐ xiǎnshì tā de jìnéng, shǐ bàozhú (yānhuā) fēicháng shòu huānyíng guówáng Kertabumi.

1475 - Yǐ tiěwàn hǎibīn jīn zài 1518 nián cheng wèi dàn mù yīsīlán wángguó de xīn tǒngzhì zhě.

Jìn bǔ ń zhǎngwò sānbǎo lǒng rénmín de lìliàng yǔ yǒnggǎn de bùduì 1000 1447 sǐwáng. Jìn bǔ ń sānbǎo miào zài xiānggǎng hé zhōngguó de yōuxiān cìxù méiyǒu shā mùsīlín shuí yǐ zhuǎnhuàn. Zhōngguó de fēi mùsīlín rénmín zhīchí de dàn mù, sānbǎo lǒng yīsīlán wángguó. Zài shèhuì gōngzuò jú fèng hé, yāoqiú dàgōngbào wángbomì (Kertabumi) rènmìng wèi shèzhèng Bing jìn bǔ ń luō (zhuānkē) shuí shì jūzhù zài dàn mù, yǔ wángzǐ jìn bù ń míngchēng. Jìn bǔ ń miànlín Kertabumi hé Kertabumi quèrèn wéi yīgè háizi.

Shèhuì gōngzuò jú 1478 nián fèng hé sǐ yú Ngampel. Jìn bǔ ń méiyǒu xǐng lái Ngampel dàn tā de bùduì zhànlǐng le zhǎowā nèibù, ér shèhuì gōngzuò jú fèng hé yīshēng cóng wèi yǔnxǔ duì wǔqì shǐyòng Java de rén réngrán yìndùjiào. Jìn bǔ ń mǎn zhě bóyí zhēngfú. Zònghéng tán má mì (Kertabumi)Demakan zhuāhuò, bìng cǎiqǔ jiāng zuòwéi tā de fùqīn fēicháng zūnzhòng duìdài. Jìn bǔ ń xiàlìng chénglì yīgè xīn de qīngzhēnsì zài sānbǎo lǒng.

1478 Nián zhì 1529 nián shèng jiàn bàn gè shìjì shì fēicháng kuānróng de sānbǎo lǒng shèzhèng chéngwéi rénmín de fùqīn, bǎohù gè mínzú hé zōngjiào. Gān sī cāng (lādēng shuō biémíng sù nán Kalijaga) shì yǐ gù de hā jí cóng gān é ń tóng pàn jiào de érzi, bèi rènmìng wèi de fēi mùsīlín zhōng de duìzhǎng zài sānbǎo lǒng. Jiànxīn hé gàn sì cāng chóngxīn jiànlì jù mù chǎng hé bèi yíqì 3 yǎnshēng wù chuánchǎng, sānbǎo bǎi de yíhái.

1479 Nián yīgè er zi (fèng áng huò sù nán bāng nányáng, érzi hé fèng shèhuì gōngzuò jú) hé yīgè cóngqián de xuéshēng shèhuì gōngzuò jú fèng hé (sū nán jílǐ) lái jiàn chuánchǎng hé zài sānbǎo lǒng sānbǎo bǎi bǎotǎ. Tāmen liǎng gè dōu bùshì zài yǔyán hǎo xīnkǔ.

Zài chuánchǎng de jiànshè zhě zài 1481 nián yāoqiú, gàn sì cāng jiànxīn, yǐ xīyǐn fēi mùsīlín bèi yǔnxǔ Tionghoa zìyuàn jiějué xià dāi dàn mù qīngzhēnsì. Qǐngqiú bèi shòuyǔ jìn bǔ ń.

1488 Bù bà dà xiānggélǐlā (Prabu Prabu dá hā huò ba tǎ lā Girindrawardana),1 mǐ fǔ de dàgōngbào (Kertabumi) de nǚér chéngwéi shèzhèng yìndùjiào mǎn zhě bóyí. Mǎn zhě bóyí wángguó xiàshǔ chéngwéi dàn mù.

Sūn zhōngshān 1509(pà dì liánhéguó dàxué), yīgè er zi de jìn bū ń, xiézhù shèng jiàn sānbǎo lǒng de chuánchǎng. Zàochuán yī bèi, yīnwèi tā xiǎng zhuā zhù yīgè chēduì de dàn mù sūn zhōngshān yào sà mó yǎ (mǎliùjiǎ).

1512 Nián sūn zhōngshān zài jíyú jìngōng lè sà mó yǎ bèi yěmán rén shuí yǒngyǒu cháng jùlí wǔqì huǒ hóngsè de tóufǎ hé bèi fú.

1513 Nián yīgè mínzú suǒwèi tà tà CIH bìngdú jì sū, chuánbó yǐ sǔnhuài, zài sānbǎo lǒng chuánchǎng xiūlǐ. Sīfǎ jīgòu zhèngwù chángdí sū jiànxīn, bìng péitóng sūn zhōngshān dàn mù. Chuánbó jì sù tuò fùzhì móxíng lái kuòdà róng móxíng de zhōngguó dàxíng chuánbó de sùdù.

Zài mǎ dà bà 1517 nián tā yāoqǐng yóu lè sà mó yǎ (pútáoyá) yěmán rén lái dào màoyì yǔ mǎn zhě bóyí de rén. Hǎibīn jìn gōngjí dì èr cì mǎn zhě bóyí. Shì hé gōng wánchéng, dàn bù bà dà xiānggélǐlā hé jiātíng réngrán zài mǎn zhě bóyí shèzhèng zuòwéi fūrén de T lā bà de qīzi shì zuìxiǎo de dìdì jìn bǔ ń zìjǐ.

Hǎibīn jīn xiànnián 63 suì sǐ yú 1518 nián.

1518 Nián zhì 1521 nián rì xīn (pà dì liánhéguó dàxué) zài wèi wèi dàn mù wáng. Pà dì liánhéguó dàxué yǒusān gè nánrén, érzi shì shuí shǒuxiān lái péngsāidá yòu míng wángzǐ lādēng Kikin, shuí bèi rènmìng wèi Trenggono(jiā tóngluówān), zuìxiǎo de jiào dōng (dùlìbīng jiǎ bō) wángzǐ.

1521 Nián sūn zhōngshān yào sà mó yǎ zàicì xíjí. Sūn zhōngshān qùshì. Bàodòng fāshēng zài dàn mù, duì tā de jìrèn zhě. Bù lā dà bà tóng lè sà mó yǎ yǔ zhōngguó de jiēchù.

1521 Nián zhì 1546 nián jiā tóngluówān (Trenggono) chéngwéi guówáng de dàn mù.

1526 Nián zài yǔ zhōngguó de dàn mù zhǐhuī guān shuō shèng jiàn suì, dàn réngrán shì yīgè hǎo bó sòng wǎng Sembung(jǐng lǐ wèn) zhēngfú rénmín de nǔlì. Cóng tiān gōu dì dìfāng qù Sirindil hā jí tán ā ń Hoat fújiàn hòuyì,Sembung jìsī, zài zuò chànhuǐ. Zài Sembung, tán ā ń Hoat dédào jiànyú zài dàn mù guówáng de míngzì biāotí nèiróng zuòzhě Fi de mù lán nuó xià linuóhuá fù (máolā Ifdil hā nà fēi). Dàn mù yīgè yuè láifǎng bùduì zài tán ā ń Hoat.

1527 Nián mǎ dà lā bà sǐwáng. Zhǐhuī guān dùlìbīng jiǎ bō (sū nán gǔ nóng jiǎ dì),1 jiā luō dōng de érzi, yǔ dàn mù jūnduì zhànlǐng le mǎn zhě bóyí de gōngdiàn. Érzi hé nǚér jiā tóngluówān bù yuànyì guī yī yīsīlán jiào, bìng táo dào yán wàng hé ba nà lǔ gàn. Tóngnián dàn mù gōngjí wàn dān dìqū zǒngbù, jiāng chéngwéi pútáoyá (Ayatrohaedi,2006 nián)Pajajaran.

Jiànxīn zài 1529 nián 74 suì qùshì. Tā de yítǐ bèi hùsòng zhì dàn mù. Ànzhào suǒyǒu jūmín de sānbǎo lǒng, mùsīlín hé fēi mùsīlín.

1529 Nián zhì 1546 nián mù míng (sù nán pǔ lā wò tuō, értóng Trenggono huò jiā tóngluówān) qǔdài jiànxīn.

1541 Nián zhì 1546 nián suí zhe fēi mùsīlín bāngzhù Tionghoa, sūnmùróng wánchéng le 1000 gè dàxíng chuánzhī, qízhōng bāokuò měi 400 míng shìbīng. Luō jiā dòng qù bǔzhuō hǎizhōng de xiāngliào qúndǎo dōngbù.

Luō jiā dòng rùqīn 1546 dōng miàn. Luō jiā dòng de sǐwáng. Mù rì dēngjī. Páng kāngjìjūn (yóu bùduì lǐngdǎo cóng jí pān gǔ Penangsang ālǐ yǎ, duì lādēng jìn bǔ ń sāi dá lái péng Kikin huò wángzǐ, zhǎngzǐ jìn bǔ ń ér zǐ sūnzi) jiǎnhuò dàn mù. Páng jǐ jìn kāng yěshì hǎibīn de sūnzi. Zài dàn mù nèizhàn. Chúfēi qīngzhēnsì, zhěnggè gōngdiàn hé dàn mù zhèn xiāohuǐ. Sūn tán bīng tuī hòu, liú zài sānbǎo lǒng chuánchǎng. Shìbīng fénshāo zàochuán chǎng jī kāng xiānshēng. Sūn mù hé tā de érzi sǐ le. Páng jǐ shìbīng yě yóu wángkāngpéng (fù Pengging Jaka Tingkir jūnduì de xíjí, jiékè shì
sūdān Trenggono Tingkir nǚér shuí yěshì dù kè Dayaningrat sūnzi). Páng kāng jí de sǐwáng. Jǐng kāng péng chénglì le zài nèidì (Pajang) wángguó. Jīngguò yīsīlán guówáng zài lìshǐ shàng chǎnshēng dàn mù Tionghoa/yúnnán. Zài sānbǎo lǒng chuánchǎng bù chóng kāi.

1552 Nián zhǐhuī guān de dàn mù jūnduì (dùlìbīng jiǎ bō)25 shìjì hòu huílái Sembung zìjǐ bù dǎsuàn zài Sirindil bùduì, shuí tújí tán ē ń Hoat jiānjìn. Tán ē ń Hoat shīwàng, zài dàn mù nèizhàn. Tán ē ń Hoat yāoqiú dàn mùqián zhǐhuī guān de zhǐdǎo Sembung mùsīlín, bìng chénglì le yǐ jìn bū ń
sūdān guó. Suīrán lǎo, dàn mùqián zhǐhuī guān de tóngyì.

1552 - Suí zhe zài Sembung Tionghoa bāngzhù 1570 rén, jīngshòu zhù le jǐng lǐ wèn huánggōng dào zài tóng sūdān de dàn mùqián zhǐhuī guān dāngqián Kasepuhan lìchǎng. Ài nà xiāng yíqì, chéngwéi yīgè mùsīlín mùdì. Tóngcūn de rénkǒu Sembung libóyǒng yǔ yīsīlán míngzì. Poortman bàogào yǐjīng wéibèi le xìnrèn de gùshì, zuòwéi shūmiàn Djamhur děng rén (2006) biǎoshì, jǐng lǐ wèn chuàngshǐ rén (yǔ tán ē ń Hoat wánquán xiāngtóng) shì Cakrabuana yòu míng yòu míng Walangsungsang Kiansantang wángzǐ, guówáng Siliwangi érzi. Yǔ cǐ tóngshí, sū nán gǔ nóng jiǎ dì shuí chéngwéi jǐng lǐ wèn de dì yīgè guówáng shì yīgè píngjūn Larasantang Walangsungsang ālābó xuètǒng lái zì fùqīn de zhízi, ér bùshì xuèxīng pà dì liánhéguó dàxué de zhōngguó háizi.

1553 Nián
sūdān de jǐng lǐ wèn suì de nǚér jià gěi tán ā ń Hoat. Niánqīng de zhízi de hūnlǐ hùsòng yīgè míng wèi tán sā fǔ cài.

1553 Nián zhì 1564 nián tán ē ń Hoat yǔ wángzǐ de míngzì chéngwéi fù luō yī gōngjué Wirasenjaya xǔduō fúwù de jǐng lǐ wèn xiàshǔ
sūdān guó zài dōngyà dìqū, tāmen dōu shì yá lǜ Priangan zài yīsīlán fāzhǎn.

Tán ē ń 1564 Hoat guójí sǐ zài yìndùjiào de yuǎnzhēng. Tā de yítǐ bèi máizàng zài yīgè zài hú xīn dǎo shàng de tāmen dōu shì yá lǜ. Zài cǐ gēnjù Ayatrohaedi qíjiān (2005 nián), wángguó yǐ chóngxīn jiārù guójí xùn tā de wángguó,Kawali yīn wéi hūnyīn guānxì de yīgè xīn de wángguó Pajajaran. Guójí běnshēn biàn chéng le yīgè huángjiā gōngguó xiàshǔ de shuǐpíng. Jù sà lì hè Danasasmita(2006) zài'xúnzhǎo Pakuan mén, guānyú qítā yánjiū xùn wénhuà zài yǔ yīsīlán jiào zài mǎn zhě bóyí wángguó fāzhǎn fāngmiàn, gāi zhōngxīn yǐjīng cóng huángjiā Pajajaran Kawali jiējìn jǐng lǐ wèn dào Pakuan wèiyú mào wù zuǒyòu.

Jǐng lǐ wèn zài 1570 nián dì yī
sūdān qùshì, yóu tā de érzi shuí shì lái zì zhōngguó de nǚér chūshēng de chénggōng. Yóuyú guówáng hái niánqīng, tā de dàibiǎo shì shān mǔ tán cái, ā bo dù lā de Nurleila bīn tè nà qí ěr nà luò ā shí gǎng cóng fu.


Selanjutnya....