Membuka Indonesia untuk Tionghoa

INDONESIA mulanya adalah kotak terbuka yang siap-sedia diisi bermacam kebudayaan, ras, agama, dan suku. Hal itu tercederai karena kepentingan politik yang tak mampu mengeliminir hasrat berkuasa. Nalar penguasaan itu, pada akhirnya, mengorbankan anak negeri. Anak bangsa yang dinilai mengancam stabilitas kekuasaan dicitrakan buruk. Tionghoa, dalam panggung sejarah Indonesia, merupakan salah satu korban kekuasaan itu.



Buku ini menelusuri perilaku diskriminatif yang menimpa masyarakat Tionghoa. Orang pribumi dan Tionghoa diadu-domba oleh rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan. Hal ini dilakukan pemerintah demi mengamankan ''stabilitas'' kekuasaan.
Perlakuan diskriminatif yang dilakukan kelompok suku bangsa mayoritas pribumi terhadap kelompok minoritas Tionghoa, mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Yang pertama adalah Tionghoa digolongkan sebagai pribumi tetapi tidak asli setempat dan karena itu mempunyai posisi minoritas. Sedangkan yang kedua, orang Tionghoa digolongkan sebagai orang asing.
Streotipe itu, menurut Afthonul Afif, masih berkembang di benak masyarakat pribumi hingga kini. Meski secara de facto mereka telah menjadi warga negara Indonesia yang sah. Itu menjadi bukti tidak berhasilnya program asimilasi atau pembauran yang pernah dijalankan pemerintah Orde Baru. Penggantian nama Tionghoa menjadi nama yang identik dengan nama orang pribumi, semisal Jawa, Sunda, Batak, dan sebagainya, belum berhasil mengalihkan persangkaan itu.
Parahnya, hal itu berlanjut bahkan ketika warga Tionghoa sudah melakukan pindah agama. Mereka masih mendapatkan pandangan miring dari masyarakat pribumi. Masih melakat-kuatnya anggapan itu bisa ditelusuri dari ''adu domba'' yang sukses dicanangkan pemerintah Orde Baru.
Masyarakat pribumi dan Tionghoa sengaja diberi wacana yang saling berkebalikan. Tujuannya agar tidak ada solidaritas di masyarakat akar rumput. Mereka harus terpecah belah. Baik dalam hal kultur, kebudayaan, dan identitas.
Buku yang bermula dari disertasi penulis di program Pascasarjana Psikologi Klinis UGM ini lebih jauh mencatat pengakuan dari orang-orang Tionghoa muslim Indonesia.
Afif mencatat pelbagai pengakuan dari peranakan Tionghoa yang merasa sedih jika hingga kini masih dipandang sebelah mata. Padahal, mereka sangat yakin bahwa Indonesia adalah negera di mana mereka dilahirkan, dibesarkan, dan kalau bisa hingga dikuburkan.
Awalnya, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan politik stratifikasi sosial terhadap penduduk Indonesia. Orang-orang Tionghoa diistimewakan dibanding kelompok lain, semisal Arab, India, dan Jepang. Pengistimewaan ini dilakukan karena Tionghoa dianggap memiliki jasa besar membantu Belanda membangun kota Batavia menjadi pusat perdagangan dunia.
Sayang, hal itu dinilai Belanda sebagai ancaman masa depan. Di luar prediksi, jumlah orang Tionghoa membengkak dan peran mereka di bidang ekonomi semakin kuat. Nah, pada titik inilah, disusun rencana untuk menumbangkan potensi yang mengancam otoritas Belanda pada saat itu. Propaganda yang dilancarkan tidak hanya sebatas pada persoalan perbedaan ras dan agama. Akan tetapi erat kaitannya dengan perbedaan profesi yang berujung pada kesenjangan ekonomi yang bagaikan jurang antara kaum pribumi dan Tionghoa, (halaman 129).
Hal itu dipertegas oleh pengakuan Hasan, seorang Muslim Tionghoa asal Semarang, bahwa diterimanya dia di lingkup masyarakat bukan hanya karena dia masuk Islam saja. Akan tetapi karena secara ekonomi Hasan tidak mencolok. Ia hanya karyawan swasta. Menurutnya, ''pekerjaan itu penting banget, Mas, karena ini sumber kecemburuan yang sebenarnya paling jelas.''
Kesenjangan antara masyarakat pribumi dan Tionghoa ditonjolkan. Isu itu berupa pribumi sebagai korban dan karena itu miskin, sedangkan Tionghoa sebagai tuan dan karena itu kaya. Singkat kata, kesengsaraan yang menimpa warga pribumi adalah dosa yang diturunkan oleh bangsa Tionghoa Indonesia. Hingga pada tahun 1970 terjadi pembantaian orang Tionghoa. Insiden itu juga dilengkapi dengan aksi bakar rumah, gudang logistik, dan penjarahan terhadap aset orang Tionghoa di Batavia. Tragedi Angke itu menelan korban yang diperkirakan mencapai 10.000 manusia. (halaman 53-54).
Afif menampik dampak buruk kolonialisme Belanda yang berimbas timbulnya persepsi miring pada masyarakat Tionghoa Indonesia bahwa Islam merupakan agama masyarakat pribumi. Menurutnya, selain lemah secara historis, pandangan ini juga lemah secara empirik. Sebelum kedatangan Belanda di Nusantara, orang-orang Tionghoa muslim justru yang lebih dulu membangun koloni-koloninya.
Fakta sejarah yang dipaparkan Afif ini menegaskan kritik tentang politik identitas Tionghoa muslim yang berjibaku dengan fakta di lapangan. Bahwa, sembari mengutip Moulettes (2005), upaya pemecah-belahan identitas sebagai usaha mengabaikan fakta sosial tentang the otherness merupakan noda sejarah.
''Semangat untuk menciptakan identitas yang utuh dan solid seringkali tidak memperhatikan eksistensi identitas-identitas yang lain,'' tulis Afif, (halaman 49). Nah, semangat mengutuhkan Indonesia menjadi Indonesia tak semestinya menegasikan ras yang lain. Karena itu hanya akan menambah borok Indonesia kian memanjang. (92)
=================================
Judul: Identitas Tionghoa Muslim Indonesia, Pergulatan Mencari Jati Diri
Penulis: Afthonul Afif
Penerbit: Kepik, Jakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2012
Tebal: xx + 352 halaman