Berjumpa Seorang Imam di Mesjid Tertua di China

“Chinesse Imam is poor. We don’t have time to bussiness”
Demikian kalimat reaksi dari imam mesjid yang baru berusia 25 tahun itu, ketika mendengar jawabaku mengenai bagaimana para imam mesjid di Indonesia. “Apakah mereka cukup punya uang ?” demikian kurang lebih pertanyaannya. Aku pun mengatakan bahwa para imam mesjid kebanyakan hidupnya berkecukupan, bahkan banyak yang berbisnis, berdagang ataupun menulis buku. Laki-laki yang islam sejak puluhan keturunan dalam keluarganya tersebut dengan pelan menjelaskan bahwa Imam di China miskin karena tak punya waktu berbisnis.

Kesan pertama…

Hari itu adalah hari raya Idul Fitri ke dua, yakni tanggal 2 bulan Syawal 1431 hijriah. Aku dan suami serta putri kecilku baru pulang dari mengunjungi sebuah museum tempat makam raja Nanyuen di dekat kawasan Yue Xiui Park. Menjelang sholat zuhur, kami berniat hendak kembali mengunjungi Mesjid Huaisheng atau Mesjid Guang Ta Lu. Sebuah mesjid yang telah berdiri 1300 tahun lalu, oleh sahabat rasulullah, yakni Said bin Abi Waqqas. Ini merupakan kunjungan kami sekeluarga ke dua di bulan September ini.
Keadaan mesjid tidak terlalu sepi. Sholat zuhur berjamaah tengah berlangsung. Namun kami datang, disaat mereka telah menyelesaikan rakaat terakhir. Aku seperti biasa berbagi tugas dengan suamiku. Ia sholat duluan, sementara aku menjaga putriku yang terlelap tidur. Cuaca hari itu mendung. Tak lama hujan deras menguyur kawasan mesjid. Ketika giliranku untuk sholat, suami menunggui putriku yang masih nyenyak dibawah hembusan kipas angin mesjid yang dihidupkan oleh salah seorang imam mesjid.
Selesai sholat, kami masing-masing berzikir. Tak banyak yang dapat dilakukan ditengah derasnya air hujan diluar. Kami pun memilih untuk menetap di mesjid yang berarsitek khas Cina kuno tersebut hingga hujan reda.
Keheningan mesjid sedikit terusik, demikian pula rasa ingin tahuku, ketika datang seorang perempuan muda, menggunakan kaos ketat dan celana jeans ketat. Ia berbicara dengan seorang laki-laki yang bisa aku tebak adalah salah satu dari imam mesjid, menilik dari perawakan dan pakaiannya.
Tak lama, dengan mencuri pandang, aku perhatikan apa yang tengah terjadi. Aku lihat, perempuan itu meletakkan beberapa bungkusan kertas ukuran jari dihadapan imam yang tinggi besar tersebut. Kemudian ia duduk berhadap-hadapan dengan sang imam, dan lucunya ia menggunakan “topi” sholat laki-laki menutupi kepalanya, bukan selendang. Tak lama, sang imampun membacakan sejumlah ayat dari juz amma, dan dengan fasih melafaskan beberapa doa yang sering pula aku dengar di setiap akhir sholat. Prosesi itu berlangsung kurang lebih 15 menit. Tak lama, mereka bersalaman, dan sang imam mengantar perempuan tadi keluar halaman mesjid.
Aku dan suami sempat beradu pandang. Mencoba mencari jawaban atas kejadian tadi. Aku berkesimpulan, mungkin perempuan tersebut meminta sang imam mendoakan dirinya atau mungkin ada keluarganya yang meninggal. Suamiku tak bereaksi, tangannya masih ikut berzikir sebagaimana mulutnya yang masih komat kamit. Aku berkeyakinan itulah yang terjadi.
Tak lama, sang imam mesjid mendekati suamiku dan menanyakan asal usul negara kami dalam bahasa Inggris yang terbata-bata, namun cukup dapat difahami. Dari sinilah bermula, obrolan kami yang cukup lama dengan sang imam mesjid. Termasuk berbagai cerita mengenai dirinya, islam di Guangzhou maupun Cina, termasuk ritual yang baru saja terjadi beberapa waktu sebelum perkenalan kami.
Imam masjid itu bernama Imam Ibrahim…
Laki-laki berperawakan tinggi besar tersebut ternyata adalah alumnus dari sebuah college di Beijing. Nama sekolahnya adalah China Islamic College. Merupakan sebuah sekolah milik pemerintah yang berada di Beijing. Hanya laki-laki yang bersekolah di sekolah tinggi tersebut.
Dari dia juga kami akhirnya memahami bahwa pemerintah Cina yang sosialis komunis cukup pro dan mendukung keberadaan sekolah islam tersebut. Namun sekolah tinggi islam tersebut hanya berlaku bagi kalangan laki-laki. Para perempuan diperbolehkan sekolah di sekolah umum yang bercampur dengan kaum laki-lakinya. Sehingga jika ingin belajar agama islam, kaum perempuannya belajar di mesjid pada waktu tertentu. Demikian pula kaum anak-anak yang dapat belajar alqur’an pada saat liburan musim panas atau Summer Holiday.
Ia juga bercerita, bahwa ia adalah seseorang beragam islam keturunan. Mungkin sudah keturunan yang ke 30 dari pohon keluarga yang ada di keluarganya. Sejak kedatangan sahabat nabi Said bin Abi Waqqas ratusan tahun lalu hingga tahun kelahirannya, ia telah mengenal islam sebagai agamanya. Dan ia mempelajari semuanya di sekolah tinggi Islam tersebut di Beijing. Sebuah sekolah tinggi islam terkenal di Cina, demikian jelasnya.
Obrolan kami siang menjelang ashar tersebut makin menarik. Meskipun dalam kemampuan berbahasa Inggris yang relatif sulit, karena mungkin sang imam tidak terlalu terbiasa berbahasa Inggris, namun bagiku dan suami yang jarang menemukan pemuda Cina Islam yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang mumpuni, maka keberadaan sang imam yang bersedia menjawab banyak pertanyaan kami itu, sungguh merupakan berkah bagi kami. Percakapan itu akhirnya mengalir deras. Membuat aku makin mensyukuri turunnya hujan saat itu, karena kami tertahan di mesjid cukup lama untuk akhirnya bertemu sang imam muda ini.
Keadaan Umat Islam di Sana…
Cerita yang pertama kami dapatkan dari sang imam tentulah sejarah berdirinya mesjid tertua di Cina tempat kami sholat tersebut. Meskipun aku sudah cukup banyak mendapatkan informasi melalui internet dan buku yang aku baca, mendengarkan langsung cerita sejarah ini dari sang imam tetap menjadi hal yang menarik.
Ada banyak fakta yang tak aku dapatkan dari beberapa sumber yang aku baca. Cerita bahwa dari seluruh bangunan mesjid, yang masih original berusia 1300 tahun dalam arti tidak terkena rekonstruksi adalah Tower mesjid yang berbentuk seperti mercusuar. Sebenarnya itu adalah memang sebuah Lighting house atau mercu suar. Karena ternyata 1300 tahun yang lalu, kawasan Guang Ta Lu tersebut adalah kawasan tepi sungai, dimana banyak kapal yang berlayar melalui mesjid tersebut. Mercu suar itulah yang menjadi patokan para pelaut di masa itu.
Ada pula kisah menarik mengenai ayam yang tersesat dan berada di atas mercusuar tersebut. Namun itu hanyalah cerita intermezzo belaka. Sang imam juga dengan nada bangga, menceritakan betapa rasulullah khusus mengutus sahabatnya untuk datang ke Cina dan menyebarkan agama suci dari Allah ini di tanah Cina.
Aku dapat membayangkan, betapa sudah majunya komunikasi Timur Tengah dengan Cina kala itu karena Guangzhou merupakan jalur sutera yang mempererat hubungan perdagangan antara Arab dan Cina. Aku jadi ingat, komentar salah seorang kenalan di Guangzhou. Ia mengatakan, demikian majunya islam di Cina kala itu.Ketika mereka menerima kedatangan Said bin Abi Waqqas dengan damai dan mendirikan Mesjid Huaisheng, disaat yang sama, Indonesia baru menerima kebudayaan lain dengan mendirikan sebuah Borobudur di kawasan Jawa Tengah. Aku tersenyum pelik mengingat hal tersebut.
Cerita sore itupun beralih ke sikap mendukung pemerintah Cina terhadap perkembangan islam. Aku menangkap kesan betapa pemerintah Cina menyukai perkembangan islam di di Cina. Meskipun disaat yang sama, akupun mendapat informasi mengenai kerusuhan di kawasan lain di Cina, tepatnya dengan suku Urumqi di kawasan perbatasan Cina-Turki.
Sang imampun menggambarkan bahwa kaum perempuan tidak dapat masuk ke sekolah tinggi agama di Beijing. Hal ini dikarenakan ijasah sarjana agama tidak dapat digunakan untuk melamar pekerjaan yang ada di Cina. Jadi jika sudah memilih sekolah tinggi agama, maka resikonya adalah tidak dapat bekerja di jalur lain. Para alumnus fokus pada kenyataan, mereka akan tersebar di seluruh Cina dan menjadi imam mesjid yang ada di Cina.
Hal ini tentu berbeda dengan Indonesia yang menerima sarjana lulusan universitas islam negeri di berbagai sektor pekerjaan. Tak ada batasan untuk bekerja di bidang manapun bagi seorang alumnus sekolah agama.
Kami pun kemudian mendiskusikan tentang kondisi islam di kalangan generasi baru di Cina. Terbukalah fakta betapa masih lambannya perkembangan islam disana, betapa banyaknya generasi baru yang islam tapi tak bisa membaca alquran. Sebagaimana dicontohkannya perempuan muda yang baru saja datang ke mesjid tadi. Aku tertarik sekali mendengarkan penjelasan sang imam. Ternyata tebakanku benar adanya. Perempuan muda tadi meminta sang imam membantunya mendoakan neneknya yang baru saja meninggal. Ia tak bisa dan tak hapal ayat-ayat alquran. Melalui sang imam ia berharap neneknya dapat dikirimkan doa. Sebagai imbalan, maka sang imampun diberi uang sebagai pengganti jasa telah membantu mendoakan neneknya.
Dari sinilah kemudian fokus cerita beralih pada kondisi perekonomian para imam mesjid. Ia bercerita, para imam tak punya waktu sedikitpun untuk melakukan hal lain selain menjaga mesjid dan mengimami para jemaah. Banyaknya jemaah yang islam namun tak bisa membaca alquran, membuat para imam harus bertahan di mesjid dan tak dapat melakukan bisnis atau usaha apapun diluar mesjid. Para Imam mesjid di Cina umumnya miskin.
Ketika ia mendapati fakta bahwa banyak imam mesjid di Indonesia yang berkecukupan, ia menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub. Iapun mengatakan bahwa ia dan para imam mesjid di Guang Ta Lu ini benar-benar tak memiliki waktu untuk mengurusi bisnis. Jumlah para imam hanya sedikit. Jika fokus mereka teralihkan, maka siapa yang akan menggantikan mereka membantu para jemaah berdoa dan belajar tentang islam ?.
Iya…, aku pikir masuk akal juga. Di Indonesia para imam mesjid maupun para kyai jumlahnya amat sangat banyak. Jika ada satu dua imam yang mengerjakan bisnis atau usaha pribadinya, masih banyak imam mesjid lain yang menjadi back up ataupun menggantikan posisi imam lainnya. Jumlah penduduk islam di Indonesia sangat jauh berbeda dengan di Cina. Oleh karenanya wajar jika akhirnya para imam mesjid di Guangzhou inipun tak punya waktu untuk berusaha di bidang ekonomi lain untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bantuan finansial berupa infak dari para jemaah tentulah amat membantu kelangsungan hidup mereka.
Ceritapun beralih pada masalah pernikahan beda agama yang kalau di Indonesia jamak terjadi dan faktnya ada sebagian para pemuka agama sudah mulai menganggapnya hal lumrah. Sementara di Cina, bagi para masyarakat islam tradisional amat sangat ditentang oleh mereka.
Namun, saat ini sebagai akibat masih minoritasnya islam di negara terluas kedua setelah Kanada ini, membuat sulit bertemu jodoh sesama muslim. Tak jarang akhirnya banyak generasi muda menikah dengan orang di luar komunitas muslim. Namun mereka tetap bertahan untuk menikah secara islam, dan orang dari luar komunitas tersebut harus masuk islam. Masalahnya sekarang, menurut imam mesjid tersebut, jika dulu banyak orang Cina masuk islam karena ikhlas, menikah dengan para pedagang dari Arab namun ikhlas masuk islam dengan menjalani berbagai ketentuan rukun islam dan rukun imam, maka hal tersebut tidak terjadi di fase modern sekarang ini.
Sebagian besar memang masuk islam dan menikah secara islam. Namun kebanyakan dari mereka tak bisa sholat, tak bisa mengaji dan tetap makan makanan yang tidak halal. Meskipun tidak menutup mata ada banyak perempuan non muslim menikah dengan kaum muslim kemudian akhirnya menutup auratnya dengan jilbab, namun prosentasenya tak sebesar para kaum mualaf yang masih berkutat dengan pola dan budaya kebiasaan sebelum mereka masuk islam.
Hal ini sepertinya cukup menjadi pemikiran sang imam tersebut. Betapa sulitnya untuk menjelaskan ke banyak mualaf, bahwa ada banyak ketentuan islam yang harus dipatuhi termasuk mengenai harusnya menghindari makanan yang tak halal di Cina. Ini adalah tantangan tersendiri bagi para pemuka agama islam di Cina selain kesulitan mencari lahan ekonomi di luar mesjid tadi.
Tak lama, hujan diluar mesjidpun mereda. Sang imampun menerima kedatangan seorang tamu yang usianya sudah cukup tua. Sepertinya tamu tersebut juga meminta bantuan doa dari imam mesjid tersebut sebagaimana yang dilakukan perempuan muda beberapa waktu sebelumnya.
Kami sekeluarga kecil inipun bersiap untuk melanjutkan perjalanan kami. Sebelum keluar dari mesjid, aku sempatkan meminta kedua orang imam yang masih ada di mesjid tersebut untuk bersedia berfoto bersama suami dan putriku. Suamiku bersalaman dengan mereka dan berjanji akan datang lagi pada hari Jum’at untuk melaksanakan sholat Jum’at di mesjid penuh sejarah tersebut.
Buah dari Pengalaman Penuh Kesan…
Aku amat sangat bersyukur dapat bertemu, berdiskusi, belajar dan melihat berbagai perbedaan dan permasalahan islam di Cina melalui kacamata sang imam mesjid. Bagiku hal yang paling menonjol untuk dipikirkan adalah masalah perekonomian para pemimpin dan pemuka agama islam di Guangzhou tersebut. Belum lagi upaya mereka berjihad fisabilillah di negeri yang islamnya minoritas. Patut menjadi perhatian kaum islam dari negara kaya dan mayoritas muslim seperti Timur Tengah dan Indonesia sendiri.
Mungkinkah ada banyak cara membantu para imam mesjid tersebut. Mungkinkah ada jalur yang memungkinkan dikirimnya para jihad fisabilillah dari negara kita ke tanah Cina untuk membantu meningkatkan kualitas para imam dan jemaah, termasuk mungkin pemberian beasiswa bagi para kaum muslim di Cina yang hendak belajar islam di negara seperti Kairo ataupun Indonesia ?
Jika ada pemerintah daerah di Papua yang bisa mengirim banyak pemudanya belajar di negara Cina, apakah tidak dimungkinkan adanya bantuan beasiswa dari berbagai lembaga islam Indonesia bagi banyak pemuda muslim Cina untuk belajar agama Islam di berbagai pesantren terkemuka di Indonesia?
Aku bahkan sampai memikirkan, jika ada kelebihan zakat harta ataupun badan ZIS yang kebingungan mencari kaum yang berhak menerima zakat di Indonesia ataupun di kawasan Timur Tengah, bukankah tidak mungkin untuk mengirim uang atau dana zakat tersebut bagi para Imam mesjid di Cina ? Merekalah sebetulnya yang termasuk kaum yang benar-benar berjuang di jalan Allah, karena sebagai kaum minoritas di negara yang tidak mengakui keberadaan Tuhan, upaya mereka mempertahankan islam adalah sebuah perjuangan yang berat.
Semoga melalui tulisan ini akan ada banyak pihak yang berkeinginan untuk turut membantu meningkatkan jumlah atau kuantitas para imam mesjid sekaligus juga meningkatkan kualitas pengetahuan agama islam mereka dan sekaligus meringankan perjuangan para imam mesjid, termasuk imam mesjid bernama Ibrahim atau Ma Jin Xin tersebut. Amiiiiin.