Ini ada artikel menarik yang membahas asal mula keturunan Tionghoa di Aisa Tenggara khususnya Indonesia.
Kami kutib dari buku
“The 6th overseas Chinese state”, Nanyang Huaren, CSEAS, J.C.Univ. of
N-Queensland, Australia 1990, penyunting Sie Hok Tjwan tentang: 1)
Palembang 2) Demak, Banten, Cirebon 3) Kalimantan Barat (babak 7 halaman
65 – 99) sbb:
Palembang
Pada tahun 1275 Kertanagara Raja
Singasari terakhir di Jawa Timur mengirim ekspedisi militer ke
Dharmasraya (Sriwijaya, Sumatera Selatan dengan ibu kota Palembang).
Catatan thn 1286 menunjukkan serangan tsb berhasil dan Sriwijaya
direbut. Namun thn. 1292 Kertanagara sendiri terbunuh oleh pemberontakan
Kediri dan Singasari jatuh. Tanah bekas Sriwijaya terlantar, keadaan
kacau.
O.W. Wolters menulis dalam buku “The
fall of Srivijaya in Malay history” hal. 73, bahwa di Palembang tidak
ada penguasa kepada siapa dapat ditujukan peringatan kaisar Tiongkok
T’ai-tsu. Tindakan kaum pedagang Tionghoa mencerminkan bagaimana
besarnya kekacauan pada waktu
itu. Mereka telah memilih pimpinan sendiri. Jalan yang ditempuh
Palembang dengan pemerintah Tionghoa perantauannya (with its overseas
Chinese government) untuk memulihkan keadaan adalah sesuai dengan
pandangan bahwa orang Tionghoa telah menyaksikan suatu keadaan yang tak
dapat dibiarkan dan mereka bertekad tidak boleh berlarut-larut.
Victor Purcell dalam buku “The Chinese
in Malaya” hal.14 menyatakan setelah kerajaan Sriwijaya ambruk,
Palembang telah dikuasai orang-orang Tionghoa selama 200 (duaratus)
tahun. Ketika kejayaan Sriwijaya surut sekian ribu orang Tionghoa dari
Fukien dan Canton yang telah menetap disana telah memerintah diri
sendiri.
Lukisan tersebut diatas selaras dengan
catatan Dinasty Ming Tiongkok, bahwa orang Jawa tak mampu menguasai
seluruh negara sesudah San-bo-tsai (Sriwijaya) ditaklukkan. Karena itu,
demikian Ming Dynasty records tsb, orang Tionghoa setempat telah berdiri
sendiri. Seorang dari Nan-Hai (Namhoi) Canton bernama Liang Tau-ming
telah terpilih sebagai pemimpin. Beliau menguasai sebagian negara dan
puteranya ikut dengan utusan kaisar kembali ke Tiongkok. Pada tahun 1405
kaisar mengutus seorang kurir dari desa asalnya Liang Tau-ming dengan
perintah agar Liang Tau-ming menghadap ke istana. Liang Tau-ming bersama
kawan seperjuangannya Cheng Po-k’o berangkat membawak produk2 setempat
sebagai upeti. Mereka pulang dengan membawak hadiah yang berlimpah2.
Tahun 1407 atau shortly after that Laksamana Islam Cheng Ho mendirikan
masyarakat Islam Tionghoa di Palembang. Tahun 1415 Palembang oleh kaisar
Tiongkok diakui sebagai berada dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit).
Disini kami menjumpai buku Prof. Dr.
Slamet Muljana “Runtuhnja keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2
Islam di Nusantara”. Prof. Muljana bukan etnik Tionghoa seperti
didesas-desuskan, melainkan seorang Priayi bekas anggauta Tentara
Peladjar. Buku ini thn 1971 dilarang oleh Kejaksaan Agung dan meskipun
sumber keterangan Ir. Parlindungan yang tersebut didalamnya tak dapat
ditrasir Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud dengan panjang lebar
telah memperbincangkan serta mengkomentari data Parlindungen sebagai
“The Malay Annals of Semarang and Cerbon” didalam buku “Chinese Muslims
in Java in the 15th and 16th centuries”. Buku Prof. Muljana mengandung
cukup banyak data lain yang sangat menarik perhatian.
Kerajaan Majapahit juga berdiri kurang
lebih 200 (duaratus) tahun. Menurut Prof. Muljana dari 1294 hingga 1478
dan sedari itu menjadi sub-state dibawah para penguasa Kerajaan Islam
Demak hingga Majapahit tiada lagi, yaitu thn.1527. Prof. Hoesein
Djajadiningrat telah menentukan kehancuran Majapahit sekitar thn. 1518.
Malay Annals yang masih diperselisihkan itu menyebutkan perkembangan
sbb.: thn. 1443 Swan Leong (Arya Damar) putera alm. Raja Majapahit
dengan seorang wanita Tionghoa, oleh Haji Gan Eng Chou (Arya Teja) telah
ditunjuk sebagai kapten Muslimin Tionghoa di Palembang sekalian menjadi
penguasa atas nama saudara perempuan-tirinya, yaitu Ratu Suhita dari
Majapahit. Gan Eng Chou adalah kapten Tionghoa di Tuban, Jawa Timur.
Beliau oleh Ratu telah dianugerahi gelar Arya sebagai bukti penghargaan
terhadap jasa2nya. Prof. Muljana berkesimpulan hal tsb menunjukkan suatu
sikap yang sangat baik dari pihak keluarga Raja terhadap orang
Tionghoa. Mengenai pemerintahan Tionghoa Perantauan di Palembang, Amen
Budiman juga menunjuk pada dokumen2 sejarah Dinasti Ryukyu dan pada
reset yang dilakukan oleh Tan Yeok Seong, seorang sinologist yang
berpangkal di South Sea Society Singapura. Hingga belum lama ini
Palembang terkenal sebagai tempat yang tidak anti-Tionghoa.
Dikutib dari “The 6th overseas Chinese
state, Nanyang Huaren”. Lanjutan bagian tentang Palembang (Ku-kang).
Kertanagara, raja Singasari yang terachir, pada thn.1289 telah menantang
wibawa kaisar Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok.
Beliau memulangkan utusan kaisar dengan
muka yang dilukai. Kublai Khan mengirim tentaranya ke Jawa. Tetapi
sebelum kedatangan tentara tsb Kertanagara pada thn 1292 telah tewas
disebabkan pemberontakan Kediri. Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai
Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan dan menantunya Kertanagara,
menyerahkan diri pada pimpinan tentara Monggol dan menyatakan, bahwa
Raja Kediri Jayakatwang telah menggantikan Kertanagara. Raden Wijaya
berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk menjatuhkan Daha (Kediri).
Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara
Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal Monggol/Tionghoa yang tak
bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit dimana beliau akan
menyerah dengan resmi pada wakil2 Kublai Khan. Ditengah perjalanan para
pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang tidak
menduganya dapat dikepung. Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak
Monggol kehilangan 3000 orang dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa
hadiah2 yang dijanjikan. Tahun 1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan
Majapahit di Jawa Timur.
Kublai Khan, cucunya Jengiz Khan,
meninggal 18 Pebruari 1294. Antara thn. 1325 dan 1375 hubungan Majapahit
dengan Tiongkok telah membaik. Sang Adityawarman yang dibesarkan di
Majapahit dan yang kemudian menjadi Raja Sumatera-Barat telah
mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai menteri dan utusan Majapahit
pada thn. 1325 dan sekali lagi pada thn 1332. Sifat pemancaran kejayaan
Tiongkok jaman lampau berbeda bumi sama langit dengan sifat kolonialis
Eropa. Cuplikan-cuplikan berikut adalah hasil penyelidikan beberapa
pakar sejarah yang menggambarkan perbedaan tsb. O.W. Wolters dalam
bukunya “The fall of Srivijaya in Malay history” hal. 50, 52:
Pada tg. 30 oktober 1371 kaisar T’ai-tsu
mengeluarkan pengumuman dengan petunjuk untuk para pejabatnya: …..
menguasai tanah yang terlalu besar tidak mendatangkan ketenteraman. Bila
rakyat diharuskan bekerja terlalu berat, keadaan itu menjadi sumber
kekacauan ….. pernyataan2 T’ai-tsu kepada penguasa2 asing mengandung
banyak saran kebijaksanaan. Daripada menganjurkan mereka untuk berdagang
dengan Tiongkok, beliau menginginkan mereka berkuasa dengan baik,
memelihara hubungan mesra dengan negara tetangganya dan saling
mengindahkan tapal-batas masing2…..Jika T’ai-tsu curiga ada penguasa
asing berakal bulus serta mengirim utusan dengan maksud yang tidak
jujur, beliau lebih baik menolak upeti mereka. Misalnya, upeti perampas2
kuasa (usurpers) tidak dapat diterima olehnya (were unacceptable to
him).
Dr. John Crawfurd (bukan Crawford) mengenai pembayaran2 upeti kepada kaisar Tiongkok:
Hubungan Tiongkok-Siam jaman lampau
mengandung unsur yang di satu pihak berdasarkan “vanity” (pengumpakan
diri) dan di lain pihak berdasar pada “rapacity” (nafsu menggarong,
lebih jelek daripada serakah/greedy). Raja Siam mengaku dirinya sebagai
pembayar upeti terhadap kaisar Tiongkok bukan karena terpaksa dan bukan
karena berada dibawah kekuasaan kaisar, melainkan demi menghindarkan
pembayaran bea bagi kapal2 yang membawak utusan2nya ke Tiongkok. Para
utusan tsb mempersembahkan bunga dari mas sebagai tanda upeti, tetapi
menerima dari kaisar hadiah2 yang jauh lebih berharga sebagai tanda
penghargaan. Negara2 lain yang lemah mengakui kaisar Tiongkok karena
sebagai imbalannya mendapat perlindungan terhadap gangguan2 dari luar.
Dalam arsip Tiongkok tercatat bahwa pada
thn. 1376 ketika dinasti Yuan (Monggol) sudah digantikan oleh dinasti
Ming (1368-1644) raja Tan-ma-sa-na-ho wafat. Tidak jelas apa nama
aslinya, tetapi kawasan yang dipersoalkan menyangkut tanah bekas
Sriwijaya. Raja yang wafat digantikan oleh puteranya yang disebut
sebagai Ma-la-cha Wu Li. Menurut Groeneveldt mungkin putera tsb. adalah
Maharadja Wuli, tetapi menurut Slamet Muljana beliau ini Maharadja
Mauliwarmadewa. Tahun berikutnya maharaja mengirim upeti kepada kaisar
Tiongkok berupa barang2 dan binatang2 chas dalam negeri. Utusan2nya
menyampaikan pesanan bahwa putera tsb segan naik tahta atas wewenang
sendiri serta mohon mendapat ijin kaisar (dengan maksud mendapat
perlindungannya). Kaisar memuji perasaan tanggungjawab maharaja dan
memberi perintah untuk menyampaikan segel (cap, seal) kepadanya disertai
pengangkatan beliau sebagai raja San-bo-tsai (Sriwijaya). Namun pada
waktu itu Sriwijaya sudah dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Raja
Majapahit sangat murka mendengar kaisar telah menunjuk raja untuk
San-bo-tsai dan mengirim anak buahnya untuk mencegat dan membunuh utusan
kaisar. Kaisar dapat mengerti kemurkaan raja Majapahit dan tidak
mengadakan pembalasan. Setelah kejadian ini lambat-laun
San-bo-tsai/Sriwijaya jatuh miskin dan tidak datang lagi upeti dari
kawasan itu. Catatan tsb sesuai dengan kenyataan bahwa bekas Sriwijaya
terlantar dan kacau. Keguncangan Singasari-Kediri dan belum
terkonsolidasinya Majapahit menyebabkan pihak Jawa tidak mampu mengurus
tanah Sriwijaya yang tadinya ditaklukkan oleh Kertanagara.
Tentang perang saudara Paregreg di
Majapahit tercatat bahwa dalam thn. 1405 sida-sida (eunuch) Laksamana
Cheng Ho telah diutus ke Majapahit yang dewasa itu dikuasai oleh dua
raja, Raja Timur dan Raja Barat. Tahun berikutnya kedua raja saling
berperang. Raja Timur dikalahkan dan kerajaannya hancur. Pada itu waktu
utusan2 kaisar kebetulan berada di negara Raja Timur. Ketika prajurit2
Raja Barat masuk ke tempat pasar, 170 orang dari utusan kaisar terbunuh,
hal mana membuat Raja Barat kuatir serta mengirim utusan minta maaf.
Kaisar mengeluarkan pengumuman sangat mencela Raja Barat dan menuntut
pembayaran enam-puluh ribu tail mas sebagai denda. Tahun 1408 Cheng Ho
sekali lagi diutus ke negara ini dan Raja Barat memberi sepuluh ribu
tail mas. Petugas2 Dewan Tatacara di Tiongkok melihat jumlah tidak cukup
dan bermaksud mempenjara utusan2 yang membawanya, tetapi kaisar
mengatakan: “Yang saya kehendaki dari orang2 yang hidup
dijauhan yalah mereka menginsyafi kesalahannya. Saya tidak ingin
memperkaya diri dengan masnya.” Seluruh denda dikembalikan. Sedari itu
mereka terus-menerus membawa upeti. Terkadang sekali dalam dua tahun,
ada kalanya lebih dari satu kali setahunnya. Para utusan Wu Pin dan
Cheng Ho seringkali mengunjungi Majapahit.
Lit.:
- Morris Rossabi “Khubilai Khan, his life and times” hal. xi, 220, 227, 228.
- Slamet Muljana “A story of Majapahit” hal. 10, 34, 35, 43, 49, 50, 71-3, 82, 88, 146, 182, 240.
- W.P. Groeneveldt “Notes on the Malay Archipelago and Malacca” hal. 36, 37, 69, 123.
- V.Purcell “The Chinese in Southeast Asia” hal. xxvii, 122.
- Morris Rossabi “Khubilai Khan, his life and times” hal. xi, 220, 227, 228.
- Slamet Muljana “A story of Majapahit” hal. 10, 34, 35, 43, 49, 50, 71-3, 82, 88, 146, 182, 240.
- W.P. Groeneveldt “Notes on the Malay Archipelago and Malacca” hal. 36, 37, 69, 123.
- V.Purcell “The Chinese in Southeast Asia” hal. xxvii, 122.
Dikutib dari “The 6th overseas Chinese state” Nanyang Huaren, 1990.
Demak
Pada dasawarsa2 terachir abad ke 15 di
Jawa Tengah telah didirikan kerajaan Islam Demak yang berlangsung dari
1475/1478 hingga 1546/1568. Pendirinya adalah puteranya Cek Ko-Po dan
berasal Palembang dimana ketika itu terdapat masyarakat Islam Tionghoa
yang besar. Beliau terkenal dengan nama Raden Patah (AL Fatah), alias
Jin Bun / Panembahan Jimbun / Arya (Cu-Cu) Sumangsang / Prabu Anom.
Orang2 Portugis menyebutnya Pate Rodin Sr. Menurut orang Portugis Tome
Pires, beliau seorang “persona de grande syso”, a man of great power of
judgement, seorang satria (cavaleiro, a knight, a nobleman). Terkaan
bahwa Jimbun nama suatu tempat dekat Demak tidak masuk akal. Penjelasan
prof. Muljana nama Jin Bun berarti “orang kuat” dalam dialek
Tionghoa-Yunnan. Semasa dynasti Yuan (Monggol) di propinsi Yunnan
terdapat banyak penganut agama Islam.
Kalangan berkuasa Demak sebagian besar
terdiri dari orang2 keturunan Tionghoa. Sebelum jaman kolonial
pernikahan antara orang Tionghoa dengan orang Pribumi merupakan hal yang
normal. Dr. Pigeaud dan Dr. de Graaf telah menggambarkan keadaan pada
abad ke 16 sbb.: di kota2 pelabuhan pulau Jawa kalangan berkuasa terdiri
dari keluarga2 campuran, kebanyakan Tionghoa peranakan Jawa dan
Indo-Jawa. Sumber2 sejarah pihak Pribumi Indonesia menyebut, dalam abad
ke 16 sejumlah besar orang Tionghoa hidup di kota2 pantai Utara Jawa.
Disamping Demak, juga di Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik (Tse Tsun) dan
Surabaya. Banyak orang Tionghoa Islam mempunyai nama Jawa dan dengan
sendirinya juga nama Arab. Pada jaman itu sebagai Muslimin mempunyai
nama Arab meninggihkan gengsi.
Salah satu cucunya Raden Patah tercatat
mempunyai cita2 untuk menyamai Sultan Turki. Menurut De Graaf dan
Pigeaud, Sunan Prawata (Muk Ming) raja Demak terachir yang mengatakan
pada Manuel Pinto, beliau berjuang sekeras2nya untuk meng-Islamkan
seluruh Jawa. Bila berhasil beliau akan menjadi “segundo Turco” (seorang
Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Suleiman I dengan
kemegahannya. Nampaknya selain naik haji beliau telah mengunjungi Turki.
Sumber2 Pribumi menegaskan raja-raja
Kerajaan Demak orang Tionghoa atau Tionghoa peranakan Jawa. Terlalu
banyak untuk memuat semua nama2 tokoh sejarah yang di-identifikasi
sebagai orang Tionghoa. Diantaranya Raden Kusen (Kin San, adik tiri
Raden Patah), Sunan Bonang (Bong Ang, putera Sunan Ngampel alias Bong
Swee Ho), Sunan Derajat juga putera Sunan Ngampel, Sunan Kalijaga (Gan
Si Chang), Ja Tik Su (tidak jelas beliau Sunan Undung atau Sunan Kudus.
Ada sumber mengatakan Sunan Undung ayah Sunan Kudus dan menantunya Sunan
Ngampel), Endroseno, panglima terakhir tentara Sunan Giri, Pangeran
Hadiri alias Sunan Mantingan suami Ratu Kalinyamat, Ki Rakim, Nyai Gede
Pinatih (ibu angkatnya Sunan Giri dan keturunannya Shih Chin Ching tuan
besar (overlord) orang Tionghoa di Palembang), Puteri Ong Tien Nio yang
menurut tradisi adalah isterinya Sunan Gunung Jati, Cekong Mas (dari
keluarga Han, makamnya terletak didalam suatu langgar di Prajekan dekat
Situbondo Jawa Timur dan dipandang suci), Adipati Astrawijaya, bupati
yang diangkat oleh VOC Belanda tetapi memihak pemberontak ketika orang2
Tionghoa di Semarang berontak melawan Belanda pada thn. 1741 dan Raden
Tumenggung Secodiningrat Yokyakarta (Baba Jim Sing alias Tan Jin Sing).
Menurut prof. Muljana, Sunan Giri dari pihak ayahnya adalah cucu dari
Bong Tak Keng, seorang Muslim asal Yunnan Tiongkok yang terkenal sebagai
Raja Champa, suatu daerah yang kini menjadi bagian Vietnam. Bong Tak
Keng koordinator Tionghoa Perantauan di Asia Tenggara. Ayah ibunya Sunan
Giri adalah Raja Blambangan, Jawa Timur. Giri nama bukit di Gresik.
Pengaruh arsitektur Tionghoa terlihat
pada bentuk mesjid2 di Jawa terutama di daerah2 pesisir bagian Utara.
Agama Islam yang pertama masuk di Sumatera Selatan dan di Jawa mazhab
(sekte) Hanafi. Datangnya melalui Yunnan Tiongkok pada waktu dynasti
Yuan dan permulaan dynasti Ming. Prof. Muljana berpendapat bila agama
Islam di pantai Utara Jawa masuknya dari Malaka atau Sumatera Timur,
mazhabnya Syafi'i dan/atau Syiah dan ini bukan demikian halnya.
Beliau menekankan mazhab Hanafi hingga abad ke 13 hanya dikenal di
Central Asia, India Utara dan Turki. Meskipun agama Islam pada abad ke 8
sudah tercatat di Tiongkok, Mazhab Hanafi baru masuk Tiongkok jaman
dynasti Yuan abad ke 13, setelah Central Asia dikuasai Jengiz Khan.
Kepergian banyak Muslim Tionghoa
(exodus) dari Tiongkok terjadi pada thn.1385 ketika diusir dari kota
Canton. Jauh sebelum itu, Champa sudah diduduki Nasaruddin jendral
Muslim dari Kublai Khan. Jendral Nasaruddin diduga telah mendatangkan
agama Islam ke Cochin China. Sejumlah pusat Muslim Tionghoa didirikan di
Champa, Palembang dan Jawa Timur.
Ketika pada thn.1413 Ma Huan mengunjungi
Pulau Jawa dengan Laksamana Cheng Ho, beliau mencatat agama Islam
terutama agamanya orang Tionghoa dan orang Ta-shi (menurut prof. Muljana
orang2 Arab). Belum ada Muslimin Pribumi.
Pada thn.1513-1514 Tome Pires
mengambarkan kota Gresik sebagai kota makmur dikuasai oleh orang2 Muslim
asal luar Jawa. Pada thn. 1451 Ngampel Denta didirikan oleh Bong Swee
Ho alias Sunan Ngampel untuk menyebarkan agama Islam mazhab Hanafi
diantara orang2 Pribumi. Sebelum itu beliau mempunyai pusat Muslim
Tionghoa di Bangil. Pusat ini ditutup setelah bantuan dari Tiongkok
berhenti karena tahun 1430 hingga 1567 berlaku maklumat kaisar melarang
orang2 Tionghoa untuk meninggalkan Tiongkok.
Sangat menarik perhatian karena saya
alami sendiri, setidak2nya hingga jaman pendudukan Jepang, rakyat kota
Malang Jawa Timur masih mempergunakan sebutan “Kyai” untuk seorang
lelaki Tionghoa Totok. Kyai berarti guru agama Islam. Padahal yang
dijuluki itu bukan orang Islam. Kebiasaan tsb peninggalan jaman dulu.
Gelar Sunan berasal dari perkataan dialek Tionghoa Hokkian “Suhu,
Saihu”. 8 Orang Wali Songo mazhab Hanafi bergelar Sunan.
Satu dari Wali Songo mazhab Syiâh
bergelar Syeh dari bahasa Arab Sheik. Kesimpulan wajar, para aktivis
Islam mazhab Hanafi di Asia Tenggara semasa itu semuanya orang Tionghoa.
Sedikit banyak dapat dipersamakan dengan penyebaran agama Kristen dari
Eropa ke lain-lain benua. Hingga abad ke 19 kaum penyebar diatas tingkat
lokal dapat dikatakan semuanya orang Eropa. Tanah Tiongkok hampir
seluas Eropa. Membuat perbandingan dengan Tiongkok tidak dapat dilakukan
dengan salah satu negara Eropa tetapi harus dengan seluruh Eropa.
Seperti juga suku2 Eropa dengan bahasa2nya berbeda satu sama lain,
demikian pula terdapat perbedaan antara suku2 dengan bahasa2nya di
Tiongkok. Keunggulan Tiongkok memiliki tulisan ideogram yang dapat
dimengerti meskipun bahasanya berlainan.
Lit.:
- De Graaf and Pigeaud “De eerste Moslimse Vorstendommen op Java”, “Islamic states in Java 1500-1700″.
- Amen Budiman “Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia”.
- Slametmuljana (dalam buku bahasa Inggris ini, nama penulisnya disambung menjadi satu) “A story of Majapahit”.
- Slamet Muljana “Runtuhnya keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara”.
- Jan Edel “Hikajat Hasanoeddin”.
- De Graaf and Pigeaud “De eerste Moslimse Vorstendommen op Java”, “Islamic states in Java 1500-1700″.
- Amen Budiman “Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia”.
- Slametmuljana (dalam buku bahasa Inggris ini, nama penulisnya disambung menjadi satu) “A story of Majapahit”.
- Slamet Muljana “Runtuhnya keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara”.
- Jan Edel “Hikajat Hasanoeddin”.