Sedemikian banyak kisah tentang keterlibatan Muslim Tionghoa dalam
penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, tapi mereka
tidak pernah bisa melepaskan statusnya sebagai—meminjam istilah
Claudine Salmon—minoritas di dalam minoritas.
Sejumlah sejarawan, salah satunya Sugiyanto—sejarawan yang mengambil gelar masternya di Universitas Leiden, Belanda—berupaya mengungkap penyebab semua itu, dengan menelusuri sedemikian banyak literatur.
Penelusuran dimulai dari laporan Haji Ma Huan, yang menemani Admiral Cheng Ho ke Pulau Jawa pada ta hun 1400-an. Ma menyebutkan telah ada pembauran antara Hui (Muslim) dan pribumi, Muslim Tionghoa, dan Tionghoa non-Muslim.
Tionghoa yang datang ke Jawa, Muslim atau bukan, adalah pedagang dan secara bertahap menjadi pemukim mapan di sepanjang pantai utara Jawa dan Sumatra. Mereka menjadikan Jawa sebagai batu lompatan menuju Timur Tengah.
Ketika Belanda datang ke Pulau Jawa kali pertama, interaksi Tionghoa dan pribumi telah mapan. Tionghoa tidak hanya terkonsentrasi di kota-kota pelabuhan, tapi juga di desa-desa dan menjalin hubungan timbal balik tanpa konflik.
Integrasi Tionghoa Muslim dan non-Muslim dengan masyarakat pribumi menjadi faktor penting perkembangan kota-kota di Jawa dan tumbuhnya pusatpusat aktivitas ekonomi.
Sejarawan Denys Lombard menunjukkan banyak bukti sebelum JP Coen tiba di Pulau Jawa, masyarakat Tionghoa di Jawa terdiri dari dua kelompok; pemeluk Islam dan memegang kepercayaan leluhur. Di Banten, Tionghoa yang memeluk kepercayaan leluhur tinggal di permukiman eksklusif. Muslim Tionghoa berbaur de ngan penduduk lokal demi kenyamanan beribadah.
Pada dekade berikutnya, situasi serupa berkembang di sepanjang pantai utara Pulau Jawa dan membentuk Sino-Javanese Muslim Culture. Sepanjang abad 16 sampai 17, populasi Tionghoa Muslim terus meningkat dan memainkan peran penting.
Di kota-kota pelabuhan, Muslim Tionghoa menjadi syahbandar, pengoleksi cukai pelabuhan, dan pengatur lalu lintas kapal atas nama penguasa. Beberapa di antaranya memperoleh gelar kebangsawanan dan menikahi wanita elite lokal.
Studi Claudine Salmon tentang Keluarga Han, kelompok pengusaha kaya di Lasem dan Surabaya memperlihatkan hal itu. Salah satu kisah akulturasi Tionghoa/Jawa sempat ditulis dalam bentuk novella oleh Tjoa Boe Sing dan dimuat sebagai cerita bersambung di surat kabar Djawa Tengah, Semarang, tahun 1910.
Degradasi
Situasi ini berlangsung terus sampai akhir abad ke-17. Memasuki abad ke-18, ‘kemesraan’ Tionghoa-Jawa mengalami penurunan. Beberapa sejarawan Barat, termasuk Salmon dan Lombard, mencatat sejumlah faktor penyebab semua ini. Pertama, ketegangan yang muncul di dalam komunitas Tionghoa, Muslim dan non-Muslim yang dipicu oleh menurunnya populasi Tionghoa Muslim secara drastis.
Kedua, perubahan politik di daratan Cina, Dinasti Ming berakhir, dan Manchu menguasai Cina. Ketiga, kebijakan Belanda yang mengarahkan Islam menjadi lebih ortodoks.
Sun Chih, kaisar Dinasti Manchu, melakukan diskriminasi terhadap pemeluk Islam. Tidak ada lagi kasim di dalam istana yang beragama Islam. Muslim Cina juga dilarang keluar kota.
Migran dari daratan Cina yang datang ke Jawa pada tahun-tahun berikutnya tidak lagi didominasi Muslim, tapi orang-orang Hokian dari Amoy di Fukian, Kwang Fu (Kanton) dan Makau. Pada saat sama, Belanda mengubah kebijakannya; menempatkan Tionghoa sebagai middleman dan mencegah mereka berbaur dengan pribumi.
Dampak buruk kebijakan ini adalah terus membanjirnya pendatang ke Jawa. Di banyak kota, Belanda menikmati ketegangan Tionghoa-pribumi. Di Batavia, kebijakan itu memperlihatkan dampak buruknya dengan pembantaian 1740.
Dari 25 ribu penduduk Batavia saat itu, 20 ribu adalah Tionghoa. Kulit putih dan Belanda hanya sekitar 2000, lainnya adalah budak dari berbagai etnis. Ketika terjadi pemberontakan Tionghoa, Belanda menggunakan pribumi dari luar dan dalam kota untuk melawan Tionghoa.
Sekitar 10 ribu etnis Tionghoa tewas, lainnya melarikan diri ke wilayah lain di sekitar Batavia, atau melanjutkan perlawanan di Semarang, Surakarta, dan Solo.
Dari peristiwa ini, menurut F de Haan, muncul istilah peranakan; sebutan untuk mereka yang memeluk Islam—akibat trauma oleh pembantaian—dan hidup berdam pingan dengan pribumi. Istilah ini digunakan untuk membedakan dengan Chinezen, atau Tionghoa non-Muslim. Dunia hibrida baru yang bernama Muslim Peranakan muncul di Batavia.
VOC merespons kecenderungan ini dengan mengeluarkan kebijakan passenstelsel, atau surat jalan bagi penduduk Tionghoa yang hendak ke luar kota untuk mengontrol aktivitas Tionghoa dan menghentikan pembauran dengan penduduk lokal.
Passenstelsel berkembang menjadi politik segregasi. Tionghoa ditempatkan sebagai kelompok eksklusif. Penduduk lokal yang telah berbaur dengan orang Tionghoa—atau orang Tionghoa yang telah berbaur dengan orang lokal—dipisahkan.
Tionghoa harus membayar pajak jauh lebih mahal dari pribumi karena statusnya sebagai orang asing, sedangkan Tionghoa yang telah memeluk Islam diidentifikasi Belanda sebagai pribumi.
The Encyclopedia of Chinese Overseas mencatat konversi ke Islam terus terjadi sampai pengujung abad ke-18. Di Batavia, Madura, dan kota-kota lain di Jawa, etnis Tionghoa potong taucang (kuncir), menanggalkan celana komprang, dan mengenakan pakaian pribumi.
Akibatnya, pendapatan ‘pajak kepala’ ke kas pemerintah kolonial menurun. Belanda bertindak cepat dengan mengeluarkan regulasi baru yang melarang keras konversi dan pembauran dengan penduduk pribumi.
Belanda menuduh konversi dilakukan etnis Tionghoa untuk menghindari pajak yang tinggi dan mendapatkan akses berdagang lebih luas. Sebagai Chinezen, orang Tionghoa hanya bisa berdagang di lingkungannya.
Etnis Tionghoa yang terlanjur memeluk Islam dan berbaur dikeluarkan dari permukiman pribumi dan dikembalikan ke permukiman Tionghoa. Wijk (permukiman) Tionghoa dipecah menjadi dua; Muslim dan non-Muslim dengan masing-masing dipimpin seorang kapten.
Politiek Verslag Madoera 1865 mencatat 80 persen dari 5.302 penduduk Tionghoa di Madura memeluk Islam. Mereka tersebar di Sumenep, Sampang, dan Pamekasan. Residen Madura saat itu terpaksa mengangkat dua kapten untuk Muslim dan non-Muslim.
Di Batavia, Belanda mengangkat Komman dant der Parnakkans Chineezen - atau komandan/kapten Tionghoa Peranakan. Kapten pertama adalah Dossol. Lalu, diteruskan oleh anaknya; Tamien Dossol dan kapten ketiga adalah Aleimuddin. Ada pula yang mengatakan kapten ketiga Muslim Tionghoa di Batavia adalah Mohamad Japar.
Beberapa tahun sebelum Perang Jawa, populasi Muslim Tionghoa di Batavia dan kota-kota lain di Jawa mengalami titik paling rendah. Saat Perang Jawa, tepatnya tahun 1827, Belanda melakukan reorganisasi permukiman etnis Tionghoa dengan menghapus posisi kapten Muslim Tionghoa.
Situasi menjadi lebih sulit bagi etnis Tionghoa, ketika Pangeran Diponegoro melakukan kebijakan nonkompromi kepada seluruh etnis Tionghoa. Raden Ayu Yudakusuma, salah satu panglima Pangeran Diponegoro, secara terus-menerus menyerang etnis Tionghoa; tidak peduli Muslim atau bukan.
Serangan terhadap Tionghoa harus dilihat sebagai strategi perang. Pangeran Diponegoro melihat Tionghoa sebagai sumber dana dan logistik bagi Belanda dan harus dihancurkan. Strategi yang berjalan nyaris sempurna.
Namun, Pangeran Diponegoro tidak benar-benar menjalankan kebijakan nonkompromi terhadap Tionghoa. Banyak prajuritnya yang terlibat sejak awal perang berasal dari etnis Tionghoa, memeluk Islam, dan telah menjadi Jawa.
Peter Carey menolak bukti ini, tapi Ong Tae Hae—seorang petualang Cina abad ke-19—dalam laporannya menemukan banyaknya etnis Tionghoa yang menanggalkan identitas mereka, mengenakan pakaian Jawa, memeluk Islam, dan belajar Alquran. Carey justru melihat Perang Jawa menyebabkan Tionghoa yang telah menjadi Muslim kembali ke kepercayaan leluhur.
Sampai abad ke-20, posisi Muslim Tionghoa terus memudar. Mereka terserap kembali ke dalam masyarakat induk dan menjadi Tionghoa seutuhnya. Kalaupun ada Tionghoa yang dengan sadar memeluk Islam, menurut The Siauw Giap dalam Islam and Chinese assimilation in Indonesia and Malaysia, mereka tidak lagi disebut peranakan, tapi mualaf.
Pribumi tidak sepenuhnya bisa menerima mereka. Bahkan, mualaf menjadi abusive word karena pribumi tetap mencurigai mereka.
Sejumlah sejarawan, salah satunya Sugiyanto—sejarawan yang mengambil gelar masternya di Universitas Leiden, Belanda—berupaya mengungkap penyebab semua itu, dengan menelusuri sedemikian banyak literatur.
Penelusuran dimulai dari laporan Haji Ma Huan, yang menemani Admiral Cheng Ho ke Pulau Jawa pada ta hun 1400-an. Ma menyebutkan telah ada pembauran antara Hui (Muslim) dan pribumi, Muslim Tionghoa, dan Tionghoa non-Muslim.
Tionghoa yang datang ke Jawa, Muslim atau bukan, adalah pedagang dan secara bertahap menjadi pemukim mapan di sepanjang pantai utara Jawa dan Sumatra. Mereka menjadikan Jawa sebagai batu lompatan menuju Timur Tengah.
Ketika Belanda datang ke Pulau Jawa kali pertama, interaksi Tionghoa dan pribumi telah mapan. Tionghoa tidak hanya terkonsentrasi di kota-kota pelabuhan, tapi juga di desa-desa dan menjalin hubungan timbal balik tanpa konflik.
Integrasi Tionghoa Muslim dan non-Muslim dengan masyarakat pribumi menjadi faktor penting perkembangan kota-kota di Jawa dan tumbuhnya pusatpusat aktivitas ekonomi.
Sejarawan Denys Lombard menunjukkan banyak bukti sebelum JP Coen tiba di Pulau Jawa, masyarakat Tionghoa di Jawa terdiri dari dua kelompok; pemeluk Islam dan memegang kepercayaan leluhur. Di Banten, Tionghoa yang memeluk kepercayaan leluhur tinggal di permukiman eksklusif. Muslim Tionghoa berbaur de ngan penduduk lokal demi kenyamanan beribadah.
Pada dekade berikutnya, situasi serupa berkembang di sepanjang pantai utara Pulau Jawa dan membentuk Sino-Javanese Muslim Culture. Sepanjang abad 16 sampai 17, populasi Tionghoa Muslim terus meningkat dan memainkan peran penting.
Di kota-kota pelabuhan, Muslim Tionghoa menjadi syahbandar, pengoleksi cukai pelabuhan, dan pengatur lalu lintas kapal atas nama penguasa. Beberapa di antaranya memperoleh gelar kebangsawanan dan menikahi wanita elite lokal.
Studi Claudine Salmon tentang Keluarga Han, kelompok pengusaha kaya di Lasem dan Surabaya memperlihatkan hal itu. Salah satu kisah akulturasi Tionghoa/Jawa sempat ditulis dalam bentuk novella oleh Tjoa Boe Sing dan dimuat sebagai cerita bersambung di surat kabar Djawa Tengah, Semarang, tahun 1910.
Degradasi
Situasi ini berlangsung terus sampai akhir abad ke-17. Memasuki abad ke-18, ‘kemesraan’ Tionghoa-Jawa mengalami penurunan. Beberapa sejarawan Barat, termasuk Salmon dan Lombard, mencatat sejumlah faktor penyebab semua ini. Pertama, ketegangan yang muncul di dalam komunitas Tionghoa, Muslim dan non-Muslim yang dipicu oleh menurunnya populasi Tionghoa Muslim secara drastis.
Kedua, perubahan politik di daratan Cina, Dinasti Ming berakhir, dan Manchu menguasai Cina. Ketiga, kebijakan Belanda yang mengarahkan Islam menjadi lebih ortodoks.
Sun Chih, kaisar Dinasti Manchu, melakukan diskriminasi terhadap pemeluk Islam. Tidak ada lagi kasim di dalam istana yang beragama Islam. Muslim Cina juga dilarang keluar kota.
Migran dari daratan Cina yang datang ke Jawa pada tahun-tahun berikutnya tidak lagi didominasi Muslim, tapi orang-orang Hokian dari Amoy di Fukian, Kwang Fu (Kanton) dan Makau. Pada saat sama, Belanda mengubah kebijakannya; menempatkan Tionghoa sebagai middleman dan mencegah mereka berbaur dengan pribumi.
Dampak buruk kebijakan ini adalah terus membanjirnya pendatang ke Jawa. Di banyak kota, Belanda menikmati ketegangan Tionghoa-pribumi. Di Batavia, kebijakan itu memperlihatkan dampak buruknya dengan pembantaian 1740.
Dari 25 ribu penduduk Batavia saat itu, 20 ribu adalah Tionghoa. Kulit putih dan Belanda hanya sekitar 2000, lainnya adalah budak dari berbagai etnis. Ketika terjadi pemberontakan Tionghoa, Belanda menggunakan pribumi dari luar dan dalam kota untuk melawan Tionghoa.
Sekitar 10 ribu etnis Tionghoa tewas, lainnya melarikan diri ke wilayah lain di sekitar Batavia, atau melanjutkan perlawanan di Semarang, Surakarta, dan Solo.
Dari peristiwa ini, menurut F de Haan, muncul istilah peranakan; sebutan untuk mereka yang memeluk Islam—akibat trauma oleh pembantaian—dan hidup berdam pingan dengan pribumi. Istilah ini digunakan untuk membedakan dengan Chinezen, atau Tionghoa non-Muslim. Dunia hibrida baru yang bernama Muslim Peranakan muncul di Batavia.
VOC merespons kecenderungan ini dengan mengeluarkan kebijakan passenstelsel, atau surat jalan bagi penduduk Tionghoa yang hendak ke luar kota untuk mengontrol aktivitas Tionghoa dan menghentikan pembauran dengan penduduk lokal.
Passenstelsel berkembang menjadi politik segregasi. Tionghoa ditempatkan sebagai kelompok eksklusif. Penduduk lokal yang telah berbaur dengan orang Tionghoa—atau orang Tionghoa yang telah berbaur dengan orang lokal—dipisahkan.
Tionghoa harus membayar pajak jauh lebih mahal dari pribumi karena statusnya sebagai orang asing, sedangkan Tionghoa yang telah memeluk Islam diidentifikasi Belanda sebagai pribumi.
The Encyclopedia of Chinese Overseas mencatat konversi ke Islam terus terjadi sampai pengujung abad ke-18. Di Batavia, Madura, dan kota-kota lain di Jawa, etnis Tionghoa potong taucang (kuncir), menanggalkan celana komprang, dan mengenakan pakaian pribumi.
Akibatnya, pendapatan ‘pajak kepala’ ke kas pemerintah kolonial menurun. Belanda bertindak cepat dengan mengeluarkan regulasi baru yang melarang keras konversi dan pembauran dengan penduduk pribumi.
Belanda menuduh konversi dilakukan etnis Tionghoa untuk menghindari pajak yang tinggi dan mendapatkan akses berdagang lebih luas. Sebagai Chinezen, orang Tionghoa hanya bisa berdagang di lingkungannya.
Etnis Tionghoa yang terlanjur memeluk Islam dan berbaur dikeluarkan dari permukiman pribumi dan dikembalikan ke permukiman Tionghoa. Wijk (permukiman) Tionghoa dipecah menjadi dua; Muslim dan non-Muslim dengan masing-masing dipimpin seorang kapten.
Politiek Verslag Madoera 1865 mencatat 80 persen dari 5.302 penduduk Tionghoa di Madura memeluk Islam. Mereka tersebar di Sumenep, Sampang, dan Pamekasan. Residen Madura saat itu terpaksa mengangkat dua kapten untuk Muslim dan non-Muslim.
Di Batavia, Belanda mengangkat Komman dant der Parnakkans Chineezen - atau komandan/kapten Tionghoa Peranakan. Kapten pertama adalah Dossol. Lalu, diteruskan oleh anaknya; Tamien Dossol dan kapten ketiga adalah Aleimuddin. Ada pula yang mengatakan kapten ketiga Muslim Tionghoa di Batavia adalah Mohamad Japar.
Beberapa tahun sebelum Perang Jawa, populasi Muslim Tionghoa di Batavia dan kota-kota lain di Jawa mengalami titik paling rendah. Saat Perang Jawa, tepatnya tahun 1827, Belanda melakukan reorganisasi permukiman etnis Tionghoa dengan menghapus posisi kapten Muslim Tionghoa.
Situasi menjadi lebih sulit bagi etnis Tionghoa, ketika Pangeran Diponegoro melakukan kebijakan nonkompromi kepada seluruh etnis Tionghoa. Raden Ayu Yudakusuma, salah satu panglima Pangeran Diponegoro, secara terus-menerus menyerang etnis Tionghoa; tidak peduli Muslim atau bukan.
Serangan terhadap Tionghoa harus dilihat sebagai strategi perang. Pangeran Diponegoro melihat Tionghoa sebagai sumber dana dan logistik bagi Belanda dan harus dihancurkan. Strategi yang berjalan nyaris sempurna.
Namun, Pangeran Diponegoro tidak benar-benar menjalankan kebijakan nonkompromi terhadap Tionghoa. Banyak prajuritnya yang terlibat sejak awal perang berasal dari etnis Tionghoa, memeluk Islam, dan telah menjadi Jawa.
Peter Carey menolak bukti ini, tapi Ong Tae Hae—seorang petualang Cina abad ke-19—dalam laporannya menemukan banyaknya etnis Tionghoa yang menanggalkan identitas mereka, mengenakan pakaian Jawa, memeluk Islam, dan belajar Alquran. Carey justru melihat Perang Jawa menyebabkan Tionghoa yang telah menjadi Muslim kembali ke kepercayaan leluhur.
Sampai abad ke-20, posisi Muslim Tionghoa terus memudar. Mereka terserap kembali ke dalam masyarakat induk dan menjadi Tionghoa seutuhnya. Kalaupun ada Tionghoa yang dengan sadar memeluk Islam, menurut The Siauw Giap dalam Islam and Chinese assimilation in Indonesia and Malaysia, mereka tidak lagi disebut peranakan, tapi mualaf.
Pribumi tidak sepenuhnya bisa menerima mereka. Bahkan, mualaf menjadi abusive word karena pribumi tetap mencurigai mereka.
Sumber: republika.co.id