Napak Tilas Jejak Peradaban Hoakiao Pada Abad 2 SM di Lasem
Wilayah Lasem - Rembang adalah tempat yang kaya
akan sejarah dan warisan budaya lampau. Pojok-pojoknya menawarkan cerita yang
tak pernah sama. Dan malam itu kami bertemu si pencerita.
Slamet Haryono namanya. Seorang teman lama, alumni Satya Wacana, Salatiga.
Ia seorang sarjana biologi, namun memilih bekerja di bidang sosial-budaya
bersama sebuah institut pluralisme yang tak ingin terkenal namanya. Sudah
sekitar setahun ia berada di Lasem-Rembang untuk revitalisasi batik Lasem yang
memudar; dan tampaknya, itu bukanlah yang satu-satunya.
Slamet bukan orang Jawa yang diam. Ia penasaran. Kadang sifat itu membuatnya
menjengkelkan, namun kadang itu membawanya kepada sebuah pemahaman atau, paling
tidak, pengetahuan. Saya masih ingat status Yahoo! Messenger-nya ketika
awal-awal ia di Rembang. Slamet bertanya: siapakah Semar?
Entah kenapa ia bertanya seperti itu. Yang jelas, dalam pertemuan-pertemuan
kami selanjutnya di Salatiga, Slamet lebih banyak bicara soal sejarah ketimbang
perbatikan. Ia membagi hasil-hasil pembicaraannya dengan beberapa spiritualis-cum-sejarawan
lokal. Ia bercerita tentang kunjungannya ke situs-situs “bukan
mainstream”
di Rembang. Suatu kali ia membawa sebuah babad ke tempat saya, dan mengijinkan
saya memfotokopinya. Dengan paparan sejarah politik kuno yang rumit dan sedikit
permainan silsilah (dan entah apalagi, saya lupa), Slamet berhipotesis bahwa
penulis babad itu sendiri adalah murid Semar yang samar.
Situs-situs yang “bukan
mainstream” bagi Slamet di Rembang adalah
tempat-tempat selain seperti museum Kartini dan pasujudan Sunan Bonang. Mungkin
ini terkait dengan minat sejarah Jawa-nya yang lebih condong ke masa pra-Islam
dan, lebih ke belakang lagi, masa pra-Hindu-Buddha; masa dimana, konon,
identitas ke-Jawa-an belum tersentuh ekspansi budaya luar. Itulah sebabnya,
pada esok harinya Slamet tak membawa saya dan James Anthony ke dua tempat
tersebut.
Mula-mula ia membawa kami ke dusun binaan lembaganya untuk melihat proses
pembuatan batik. Hari itu hari Sabtu. James ingin mengambil foto anak-anak
kecil yang sedang menulisi kain dengan canting. Saya ingin makan mangga, karena
waktu itu memang sedang musimnya. “Di sini kalian bisa makan mangga sampe
bodok,” kata Slamet.
Agak aneh rasanya mendengar bahwa anak-anak kecil itu harus membatik di sela
kesibukan belajar sekolah. Entahlah, saya kira untuk konteks Rembang, belajar
membatik itu jauh lebih relevan dan berguna ketimbang menghapal teori-teori
pelajaran yang disyaratkan kurikulum nasional.
Rasanya setiap kali kita bicara tentang sesuatu yang nasional, di situ kita
sedang mengabaikan yang lokal. Padahal apa yang nasional adanya cuma di
imajinasi kita, dan bukan sesuatu yang riil. Nasionalisme adalah konsep hasil
rekayasa kesadaran kita saja, bukan? Pelajar-pelajar kita berhasil mencapai
standar nasional, namun melempem untuk berolahdaya di tingkat lokal. Kalau kita
sepakat bahwa batik adalah produk budaya lokal yang potensial, lantas mengapa
generasi kita yang berpendidikan nasional hanya mampu membuatnya pudar dan
nyaris hilang sekarang? Itu artinya kurikulum nasional yang jendral tidak klop
dengan kearifan lokal yang kontekstual.
Memang, belakangan saya dengar bahwa sekolah-sekolah di Rembang sudah mulai
mengadopsi kegiatan membatik sebagai “muatan lokal”. Tetapi bagaimana kalau
sekarang porsinya dibalik? Bikinlah membatik sebagai muatan kurikulum utama,
dan matapelajaran lain sebagai, katakanlah, “muatan nasional”. Apakah ini bisa
membantu upaya revitalisasi batik yang tengah digalakkan?
Saya tidak tahu. Sebelum pertanyaan itu terjawab, mangga di tangan saya
telah habis. Dan saya malas melanjutkan berpikir. Buat apa pusing-pusing?
Dari dusun itu, kami melanjutkan perjalanan ke daerah Babagan di kecamatan
Lasem. Kami mampir sebentar di kedai kopi lelet depan klenteng Gie Yong Bio.
“Lelet” adalah kata Jawa untuk “oles”. Di kedai ini kami mendapati beberapa
orang tengah sibuk mengolesi batang rokok dengan ampas kopi kental. Aktivitas
ini dianggap sebagai “membatik rokok”. Ternyata, di Rembang tak hanya kain saja
yang dibatik. Konon rokok yang sudah dibatik akan terasa lebih mantap. James dan
Slamet menikmati kopi dan rokok. Rembang terik sekali. Saya cukup air bening.
Glek! Ahh ….
Pluralisme
Saya baru tahu kalau klenteng yang kami datangi siang itu adalah tempat
pemujaan kimsin (patung dewa) dua orang Hoakiao dan satu orang Jawa: Tan Kee Wie,
Oei Ing Kiat, dan Raden Panji Margono. Yang disebut terakhir itu konon adalah
seorang Jawa yang sudah masuk Islam. Hoakiao adalah istilah untuk menyebut
orang-orang Cina perantauan (
overseas Chinese).
Jadi ceritanya, pada tahun 1740-an pecah konflik antara VOC di Rembang
dengan masyarakat Lasem. Monopoli pasar VOC yang ambisius konon jadi pemicunya.
Maka pecahlah perang. Tiga tokoh tadi memimpin rakyat Lasem enyahkan kongsi
dagang Belanda itu dari Rembang. Dan mereka berhasil.
Namun itu adalah sebuah kemenangan yang berbatas. Tatkala orang-orang Lasem
mengejar Belanda hingga ke Juwana dan Jepara, mereka terpukul balik. Di sana
Tan Kee Wie gugur, dan kedua sahabatnya mundur ke Lasem. Setelah berperang
gerilya selama beberapa waktu, Oei Ing Kiat dan Panji Margono akhirnya
terkepung juga oleh Belanda, dan gugur. Klenteng Gie Yong Bio didirikan pada
tahun 1780 untuk menghormati kepahlawanan tiga serangkai itu.
Kini kita akan temukan kimsin Tan Kee Wie bersanding dengan kimsin Oei Ing
Kiat di altar utama Gie Yong Bio. Sedangkan kimsin Panji Margono terpisah
ruang, di sebuah kamar kecil tersendiri. Ia mengenakan beskap, jarik, dan
blangkon. Sebuah miniatur joglo jadi tancapan singgasananya. Meski di
kanan-kiri terdapat barang-barang yang tak lagi terpakai — hingga kamar itu
terlihat agak seperti gudang — namun kondisinya dijaga tetap bersih dan rapi.
Dan kimsin Panji Margono tetap disembahyangi.
Inikah wujud pertemuan mesra budaya Tionghoa dan Jawa? Saya masih tak habis
pikir kenapa orang-orang Hoakiao Lasem mau “repot-repot” menyembah kimsin Panji
Margono yang seorang Jawa dan konon telah masuk Islam pula. Agaknya mereka
memaklumi bahwa jalan panjang pluralisme nan damai dapat diretas dengan langkah
kecil saling menghormati. Dan mereka, pada kenyataannya, telah melakukan lebih.
Penawar
Siang itu Sigit Witjaksono (Njo Tjoen Hian) menyematkan nama Ying Hsiung
kepada saya. Artinya, satria yang mulia. “Semoga namanya cocok sama orangnya,”
kata Sigit. Amin.
Sigit sudah berumur 80 tahun. Orangnya grapyak dan semanak. Bersemangat, dan
masih sempat terlibat pembuatan filem
Ca Bau Kan. Pada 2008, harian
Kompas meliputnya sebagai “Hoakiao dari Lasem”. Ia adalah pemilik perusahaan
batik tulis Sekar Kencana, yang letaknya hanya satu lemparan batu dari klenteng
Gie Yong Bio. Konon ia punya 30 kemeja batik yang berbeda, yang dirancangnya
sendiri, untuk dipakai bergantian setiap hari selama satu bulan. Satu ciri khas
batik rancangan Sigit yang saya lihat adalah munculnya aksara-aksara Mandarin
di antara semburat motif batiknya. Huruf-huruf itu, tentu saja, punya makna —
yang saya sudah lupa penjelasannya.
Sigit memperbolehkan kami melihat-lihat dapur batiknya. Ini adalah bagian
dari kompleks rumahnya yang lumayan luas, yang dikitari pagar tembok tinggi
tebal bak benteng. Ada gledegan
untuk mewarnai kain. Ada tungku
untuk peluruhan malam. Ada cekungan
pembilas kain. Ada lapangan kecil
untuk menjemur. Di tengah-tengah semua itu, ada tempat dimana beberapa
perempuan paruh baya duduk melingkar saling membelakangi. Mereka mengelilingi
wajan berisi malam yang mendidih di atas kompor yang menyala. Satu tangan
memegang kain, satunya lagi canting. Mereka sedang membatik.
“Batik” adalah akronim dari dua kata Jawa, yakni “amba” (menulis) dan
“titik” (titik). Semula saya kira membatik adalah mewarnai kain dengan malam
cair. Slamet bilang bukan. Membatik adalah menghalangi area tertentu kain
dengan malam, agar tak ikut terwarnai dalam proses pewarnaan. Karena itu,
pembuatan motif batik dengan beberapa warna saja bisa jadi cukup panjang
prosesnya — dan rumit. Saya jadi ingat kata-kata seorang seniman pencipta
wayang ukur, almarhum Ki Sigit Sukasman:
seni kuwi disipline ora umum.
Tetapi, apakah sebenarnya seni itu?
Saya tidak tahu. Rasanya dikotomi paling sederhana — walau mungkin belum
tentu pas — adalah antara seni dan sains. Apa yang seni adalah apa yang bukan
sains. Dan sebaliknya. Kalau kita terbiasa mendefinisikan sains sebagai
kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis bin metodologis, maka
bolehlah sekarang kita definisikan seni sebagai kumpulan pengetahuan yang
terdapat secara asistematis dan tanpa metode baku.
Lepas dari sistematisasi dan pembakuan. Bisakah kita sebut itu sebagai
“kebebasan”? Kalau kita sepakat bahwa batik adalah sebuah karya seni, apakah ia
dapat dilepaskan dari sistematisasi dan pembakuan proses pembuatan? Ah, saya
pusing sekarang. Mungkin batik bukan seni. Atau mungkin dikotomi seni-sains di
atas benar tak pas. Mungkin hidup ini melampaui dikotomi, diferensiasi,
diskriminasi … apalagi?
Identitas
Pagi itu saya memutuskan untuk bangun kesiangan. Kemarin, setelah undur diri
dari kediaman Sigit Witjaksono, Slamet membawa kami menuju sebuah bukit, yang
cukup tinggi untuk melepas pandangan ke laut Jawa. Di sana
ada semacam gugusan batu besar melingkar yang dinamai Watu Guling. Hampir
semuanya dipahat dalam bentuk wajah. Namun ada pula yang menyerupai kepala
kuda. Ada yang seperti lingga-yoni.
Ada yang tak dapat saya
deskripsikan ringkas. Salah satu wajah yang terbesar berada dalam posisi
terguling, karena tersundul jalur pertumbuhan sebuah pohon.
Konon situs ini dibangun oleh koloni Hoakiao pertama yang mendarat di Jawa,
di bawah kepemimpinan Kie Seng Dhang, sekitar 200 tahun sebelum Masehi. Tak
banyak informasi yang saya tahu soal koloni ini, dan cerita-cerita Slamet
seolah tak lagi muat diingat. Yang saya ingat, angka 200 tahun sebelum Masehi
itu didapat dari jumlah goresan tahun pada sebatang kayu (pathok) yang kini
entah dimana rimbanya.
Turun dari Watu Guling, kami mampir di Makam Dawa, sejengkal tanah kosong
yang diyakini sebagai kuburan pathok keramat itu. Seorang spiritualis lokal
mengatakan bahwa pathok itu sudah hilang dari makamnya. Saya merasa perjalanan
ini makin tak masuk di akal. Dan banal.
Terlalu banyak konon. Terlalu banyak katanya. Mana faktanya?
Faktanya, hari itu saya hanya bertemu sebuah bangunan rumah — lagi-lagi di
atas bukit yang tingginya lumayan. Tembok sisi belakangnya memuat satu gambar
aneh. Sepertinya itu semacam bunga teratai yang tampak atas, sehingga terlihat
bundar. Kelopaknya ada delapan. Bundaran itu dibagi dua oleh lengkungan yang
lazim kita temui pada simbol Taoisme. Pada bagian yang satu terdapat simbol
positif, satunya lagi negatif. Di atas gambar itu terdapat kalimat:
HWUNING-MEWHUNINGI. MANUSWA-BADRA-SANTI. Sedangkan di bagian bawah gambar ada
tulisan: INDRIYA-PRA-ASTHA.
Saya tak paham betul arti gambar tersebut. Apakah delapan kelopak teratai
itu merujuk pada Jalan Utama Berunsur Delapan dalam ajaran Buddhisme? “Hwuning”
menurut Slamet adalah “mengetahui yang benar”. Sementara Badra-Santi adalah
nama babad yang pernah Slamet tunjukkan pada saya di Salatiga. Nama penulisnya
adalah Santibadra. Di dalam rumah ini memang terdapat kubur punden leluhur Jawa
yang diyakini sebagai tempat Mpu Santibadra biasa bertapa, sebelum meninggal
tahun 1527. Nama yang tertera paling atas pada nisan punden itu adalah Kie Seng
Dhang, pemimpin koloni Hoakiao pertama di Jawa.
Apakah orang Jawa berleluhur orang Tiongkok?
Menurut sebuah buku — Slamet menyebutnya “buku kanung” — ketika koloni pimpinan
Kie Seng Dhang mendarat di Jawa pada tahun 200 sebelum Masehi, sudah ada
sekelompok manusia yang menetap terlebih dahulu di sini. Namun kelompok
“pribumi” tersebut berperadaban lebih rendah, hingga akhirnya tersingkir ke
pedalaman gunung. Koloni Kie Seng Dhang menguasai wilayah lembah dan pantai.
Orang yang tinggal di pedalaman gunung itu kemudian disebut “wong kanung” atau
“orang gunung”. Sedangkan yang di lembah dan pantai adalah yang kelak disebut
sebagai Jawa.
Namun Jawa di situ bukanlah perkara geografis belaka. Dalam buku kanung
diceritakan, asal nama Jawa adalah kata “jawi”, yang berarti “banteng betina”.
Orang-orang koloni Kie Seng Dhang belajar dari seekor banteng betina, tentang
bagaimana binatang itu memperlakukan anaknya dengan
ngerti (mengerti),
gemati
(sayang), dan
wigati (perhatian). Tiga watak jawi inilah yang kemudian
diteladani, dan orang yang meneladaninya disebut Jawa. Di sini, menjadi Jawa
bukan lagi semata-mata etnis atau geografis, tetapi nilai. Ketika orang Jawa
tak lagi mengerti, sayang, dan perhatian kepada sesama dan lingkungannya, di
situlah kalimat “wong Jawa ilang Jawa-ne” menemukan maknanya.
Bagaimana?
Tanpa
Beberapa bulan setelah hari itu, kami ke Rembang lagi. Kali ini tidak
berdua, melainkan berempat: bersama Immanuel Arya dan Evan Adiananta. Namun,
karena kurang koordinasi, kami tak dapat bersua Slamet Haryono. Ia sedang di Yogyakarta,
dan baru tiba di Rembang malam hari. Padahal rencana kami pulang ke Salatiga
adalah petang nanti.
Lantas kemana kami harus pergi? Rembang tanpa Slamet seperti kuburan tanpa
juru kunci.
Padahal kalau dihitung-hitung, sudah tiga kali saya ke Rembang, namun masih
saja asing dengan kabupaten ini. Kali pertama ke Rembang dulu hanya main-main
ke museum Kartini. Juga ke pantainya untuk lihat-lihat jangkar raksasa — konon
milik Dampo Awang — yang sekitar 3 meter panjangnya. Saya lebih banyak
icip-icip makanan khas Rembang waktu itu. Pagi makan sate srepeh, siang ke
bakso balungan, sore makan swike di desa Jeruk, lalu ditutup dengan buah kawis.
Ada juga lontong tuyuhan yang
rasanya tidak beda dari lontong opor kebanyakan. Yang paling mantap adalah
swike kuah Jeruk disantap pedas-pedas di bawah teriknya siang. Hwahh …!
Kapal
Kami memutuskan untuk mampir terlebih dahulu ke Babagan; istirahat sejenak
sebelum mencari sendiri situs incaran: sebuah kapal kuno dari abad ke-7 —
sekitar dua abad lebih kuno dari Borobudur — yang
ditemukan sekitar setahun yang lalu di Rembang. Dari obrolan di kedai kopi
lelet, akhirnya kami tahu kemana harus mengarahkan haluan.
Situs itu terletak di desa Punjulharjo. Kalau Anda berkendara dari alun-alun
Rembang ke arah timur, agak jauh sebelum masuk kecamatan Lasem akan terlihat
sebuah papan biru kecil di sisi kiri jalan. Tertulis: LOKASI KAPAL. Anda akan
memasuki jalan desa yang tak beraspal, ke areal pertambakan penduduk. Isuzu
Panther masih mampu melewati medan
ini, hingga tersisa hanya beberapa puluh meter dari titik situs incaran. Angin
laut bertiup agak kencang.
Waktu itu tengah hari. Laut sedang pasang, dan situs itu pun tenggelam. Di
atasnya telah dibangun selter berpagar, dan jalan setapak dari karung pasir
menghubungkannya dengan pematang tambak. Kami hanya dapat menyaksikan wujud
kapal secara samar dari pinggiran. Ikan-ikan bandeng muda tampak berseliweran.
Konon, kapal kuno ini memang sengaja tak diangkat dari tambak agar tidak
mrotoli. Kayunya, yang diperkirakan berasal dari abad ke-7, kelihatan lapuk.
Angka perkiraan tersebut adalah hasil uji penanggalan “radiocarbon” di sebuah
laboratorium di Amerika Serikat. Saya tak tahu apa itu “radiocarbon”,
kedengarannya cukup “ilmiah” dan sahih. Yang jelas, dengan hasil penanggalan
demikian, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah mengklaim
kapal ini sebagai temuan kapal kuno terutuh yang tertua di Asia Tenggara.
Ketika pertama kali ditemukan, konon bangkai kapal ini memuat beberapa benda,
salah duanya adalah belulang manusia dan arca kepala perempuan berparas Cina.
Namun saat kami ke sana benda-benda
tersebut tidak ada. Sudah diamankan, katanya.
Jadi, ini kapal apa sebenarnya?
Panjangnya 15 meter dan lebarnya 4,5 meter. Kayunya sejenis ulin Kalimantan.
Memuat arca kepala perempuan Cina. Berasal dari abad ke-7. Saya tidak punya ide
karangan untuk menjelaskan fakta-fakta ini. Mungkin Slamet punya
ditulis oleh. Mas Satria .A
dikirim oleh. Ko Hui Zhang